Upaya Perkuat Moderasi Beragama dan Pengembangan Ekonomi di Pesantren, Kementerian Agama Adakan Halaqah Pesantren

Upaya Perkuat Moderasi Beragama dan Pengembangan Ekonomi di Pesantren, Kementerian Agama Adakan Halaqah Pesantren

Jumat (17/12) malam, sukses digelar Halaqah Pondok Pesantren bertemakan “Pesantren Sebagai Pelopor Moderasi Beragama dan Pusat Pengembangan Ekonomi Masyarakat”. Halaqah Pondok Pesantren adalah suatu fasilitas yang diberikan oleh Kementerian Agama yang diwujudkan dengan suatu perkumpulan dalam rangka penguatan moderasi beragama, pembangunan karakter, dan/atau peningkatan kualitas sumber daya manusia pada Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Islam. Halaqah ini mengambil 35 titik di Indonesia, yang salah satunya digelar di Pondok Pesantren Al-Munawwir. Halaqah ini dihadiri oleh berbagai golongan dari pengurus ranting cabang Nahdlatul Ulama Yogyakarta.

Fairuzi Afiq Dalhar dalam sambutannya mengharapkan bahwa dengan halaqah ini, Pondok Pesantren tidak hanya tafaqquh fiddin tapi juga bisa menjadi pelopor moderasi beragama dan mengembangkan ekonomi setelah selesai dari pondok pesantren. Menurut beliau, keberadaan halaqah ini tentunya sangat bagus, yaitu dengan mempertimbangkan modernisasi atau perkembangan zaman ke depannya yang juga akan mempengaruhi laku pondok pesantren.

Dr. Muhammad Tantowi sebagai moderator acara halaqah menyebutkan latar belakang bahwa dari dulu pondok pesantren adalah pusat moderasi beragama. Selain itu, menurut beliau pondok pesantren bukanlah yang selalu tertinggal dalam hal pengembangan ekonomi. Dulu ketika basis peradaban adalah agraris, pondok pesantren pernah tampil menjadi pusat kegiatan ekonomi. Namun ketika peradaban bergeser dari agraris ke industry, barulah peran pondok pesantren dalam pengembangan ekonomi tidak begitu terlihat.

Term pertama yang dibahas dalam halaqah ini adalah mengenai “Pondok Pesantren Sebagai Pusat Pengembangan Ekonomi” yang dinarasumberi oleh K. Sastro, salah seorang tokoh budayawan. K. Sastro menjelaskan bahwa eksistensi pesantren sebenarnya adalah lembaga yang qiyamuhu binafsihi dalam pegertian kultural. Artinya, pesantren sebagai lembaga yang eksis dengan independen dan ditopang oleh kekuatan ekonomi yang baik. Beliau memaparkan kepemilikan pondok pesantren yang meliputi kapital-sosial (hubungan relasi sosial yang baik), kapital-kultural (sistem budaya yang baik), kapital-simbolik (simbol-simbol yang dimiliki oleh pondok pesantren), yang ketiganya ini seharusnya dapat dikonversikan dalam kapital-ekonomi (sistem ekonomi yang baik).

Dalam penjelasannya, K. Sastro menyebutkan bahwa pergeseran peran pesantren sebagai pusat pengembangan ekonomi dimulai saat sistem ekonomi berubah dari sistem ekonomi agraris dan sistem ekonomi tradisional bazari ke arah sistem ekonomi kapital-liberal yang menitiktekankan pada aspek industri. Pesantren pun juga harusnya mampu mengimbangi perkembangan zaman ini. K. Sastro menyebutkan langkah-langkah yang harus ditempuh bagi pesantren untuk mencapai kemandirian, diantaranya melakukan eksplorasi terhadap yang dimilikinya (kapital-sosial, kapital-kultural) dengan baik, memperkuatnya dengan langkah yang sistemik dan professional, mengaktualkan keduanya secara kreatif agar dapat dikonversi dalam kapital-ekonomi dengan nilai tinggi, pengembangan skill managerial pesantren, dan mengonversi keduanya dalam kapital-ekonomi dengan baik.

Term kedua yang dibahas adalah mengenai “Pondok Pesantren Sebagai Pusat Moderasi Beragama” yang dinarasumberi oleh KH. Sahiron Syamsuddin. Titik tekan penjelasan beliau adalah pada dalil moderasi beragama. KH. Sahiron menjelaskan bahwa dari hari ke hari, gerakan radikal semakin meningkat. Banyak organisasi keagamaan yang awalnya moderat kemudian anggotanya berubah menjadi radikal dan ekstrim. Untuk itu, perlu adanya penguatan moderasi beragama untuk menangkalnya.

Dalam penjelasannya, KH. Sahiron mengatakan bahwa setidaknya ada empat aspek yang harus ada dalam pelaksanaan moderasi beragama. Diantaranya adalah komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan menghormati tradisi. Pada inti penjelasannya, KH. Sahiron menegaskan bahwa akar moderasi beragama bukanlah dari luar seperti yang digaung-gaungkan oleh orang-orang yang menolak moderasi. Akar utama adanya moderasi beragama adalah ajaran Islam itu sendiri. untuk memperkuatnya, beliau menyebutkan beberapa hadis yang menunjukkan ihwal tersebut. Selain hadis, beliau juga mengutip kitab Mafatihul Ghayb, dimana disana Imam Fakhruddin ar-Razi menuliskan bahwa di dalam setiap perilaku yang banyak, ada dua ujung yang melingkupinya. Ada kalanya ujung yang pertama adalah perilaku sembrono, dan ujung yang kedua adalah perilaku berlebih-lebihan (ekstrim). Karenanya, perilaku yang tepat adalah al-wasath atau berada di tengah-tengah.

Penulis : Arina Al-Ayya

Arina Al-Ayya

Arina Al-Ayya

ArinaAl-Ayya

8

Artikel