KH. Ali Maksum, Peletak Sistem Madrasi Pesantren

KH. Ali Maksum, Peletak Sistem Madrasi Pesantren

Almunawwir.com – Ketokohan seseorang bukanlah pemberian yang datang secara tiba-tiba, bukan pula suatu yang bisa diwariskan secara turun-menurun semata. Melainkan hasil elaborasi perjalanan panjang hidup seseorang yang saling berkesinambungan dan saling berkaitan erat satu sama lainnya. Hal ini sejatinya dapat kita lihat dari ketokohan KH. Ali Maksum, Krapyak (w.1989). Ketokohan Kiai Ali menurut catatan Athoillah, setidaknya dapat dilihat dalam tiga hal yakni Ulama’, pesantren, dan NU. Ketiganya tentu menurut perspektif sejarah yang berbeda-beda dalam mempresentasikannya. Namun dalam tulisan ini akan melihat Kiai Ali sebagai seorang santri-kiai yang memiliki pandangan modern terhadap pendidikan pesantren, yakni sistem madrasi pesantren.

Baca Juga : Pesan Mbah Maksum Lasem untuk Santri Krapyak

Sudah kaprah dalam dunia pesantren seorang kiai akan mengirimkan putranya untuk belajar ke berbagai pesantren. Barangkali kondisi demikian sudah menjadi tradisi intelektual yang khas dalam kehidupan pesantren. Hal ini juga dilakukan KH. Maksum Ahmad, Lasem yang memasrahkan Kiai Ali muda ke berbagai pesantren masyhur di tanah air, salah satunya Pondok Pesantren Tremas, Pacitan. Setelah sebelumnya belajar kepada KH. Amir Idris Pekalongan pada tahun 1927.

Pesantren Tremas waktu itu diasuh oleh KH. Dimyathi, putra KH. Abdullah bin KH. Abdul Manan at-Tarmasi. Ketika di Tremas, Kiai Ali melakukan tradisi naun,dimana seorang santri tidak diperkenankan pulang ke rumah selama tiga tahun awal bermukim di pondok. Kiai Ali sangat tekun mempelajari kitab yang diajarkan oleh gurunya, KH. Dimyathi dan guru-guru lainnya seperti  KH. Masyhud dan Sayid Hasan Ba’bud.

Ketekunan Kiai Ali menjadikannya cukup menonjol di antara santri-santri lainnya sehingga oleh KH. Dimyati dipercaya untuk menjadi pengajar di Pondok Tremas. Kepercayaan yang diberikan kepada Kiai Ali, membuatnya berani melakukan improvisasi, di antaranya yang terkenal adalah mendirikan madrasah di pesantren, membaca kitab-kitab bergambar seperti Qiraatur Rasyidah dan mengajarkan kitab-kitab baru dari Mesir sebagai pegangan kitabnya. Saat itu, dia demikian brilian, tegas dan simpatik, selain menguasai materi-materi yang dibebankan kepadanya. Kiai Ali memperoleh kedudukan yang sangat terhormat di lingkungan keluarga Tremas dan santri-santri pada umumnya, bukan hanya karena ayahnya seorang kiai besar, melainkan karena kekuatan pribadi dan penguasaan ilmunya yang luas. Dia tidak hanya mempelajari kitab-kitab yang mu’tabar dari ulama-ulama klasik tetapi juga kitab-kitab para pembaharu. Mungkin dengan latar belakang referensi bacaan yang luas inilah yang menyebabkan Kiai Ali dalam hal-hal tertentu memiliki pandangan yang moderat.

Ketika belajar di Tremas Kiai Ali memilih untuk memperdalam ilmu Tafsir Al-Qur’an dan Ilmu Bahasa Arab. Dua disiplin ilmu tersebut nantinya menghantarkan ia menjadi kiai ahli tafsir dan pakar Bahasa Arab yang terkenal pada abad ke 20 sehingga ia dijuluki munjid berjalan. Kiai Ali sangat gemar “mengotak-atik” Bahasa Arab, karena ia menguasai kitab Dahlan, Asymuni, Jauharu Maknun, dan Alfiyah Ibn Malik, bahkan ia juga menguasai ilmu Badi’, ilmu Balaghah, ilmu Ma’ani dan sebagainya. Kiai Ali secara intens juga mempelajari dan menghafal kalam-kalam hikmah dan syair berbahasa Arab. Pada akhirnya nanti ia berhasil menemukan metode baru dalam disiplin ilmu sharaf.

Sebagaimana disebutkan Prof. Dr. H. A. Mukti Ali dalam bukunya Mukhdlor yang menyatakan, selama di Tremas Kiai Ali-lah yang menjadi penggerak modernisasi pondok pesantren Tremas menjadi sistem madrasi pada tahun 1932, yang sebelumnya sempat muncul kekhawatiran dari KH. Dimyati atas usul yang diajukan oleh Kiai Ali dan Gus Hamid Dimyati. Kekhawatiran tersebut berdasar atas pendirian madrasah yang kontroversional oleh Sayid Hasan pada tahun 1928 yang akhirnya harus bubar.

Setelah delapan tahun di Tremas, Kiai Ali kembali ke Lasem untuk mengembangkan ilmunya di pondok yang di asuh ayahnya. Namun, sebelum kembali ke Lasem ia telah menyerahkan amanah selama di Tremas kepada keluarga kiai dan pengurus pondok. Madrasah yang telah dirintisnya diserahkan kepada KH. Hamid Dimyati sebagai direktur, dan Mukti Ali sebagai wakil direktur. Mukti Ali kelak menjadi Menteri Agama Republik Indonesia (1971-1978 M).

Kesuksesan Kiai Ali dalam sistem pendidikan Pesantren Tremas barangkali menjadi ciri khas perhatian Kiai Ali terhadap sistem pendidikan pesantren di Krapyak. Selama Kiai Ali mengasuh pesantren Krapyak, tercatat beberapa pendidikan madrasah telah beliau didirikan. Mulai dari madrasah diniyah pesantren hingga lembaga pendidikan modern. Hingga kini pendidikan berbasis madrasi yang diwariskan Kiai Ali Maksum Krapyak terus tumbuh dan berkembang pesat. Melahirkan generasi yang terus mengisi bidang-bidang strategis di negeri ini.

Haul 33 KH. Ali Maksum semoga menjadi refleksi santri Krapyak khususnya, juga masyarakat luas untuk terus meneladani dan menggali ‘pemikiran-pemikiran’ KH. Ali Maksum yang selalu relevan dengan zaman. (nm)

 

Sumber:

A Zuhdi Mukhdlor, KH. Ali Maksum: Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989).

Ahmad Athoillah, KH. Ali Maksum: Ulama, Pesantren, dan NU, (Yogyakarta: LkiS, 2019).

Badrun Alaina dan Humaidy Abdussami, KH. Ali Maksum: Tokoh Modernis NU, (Yogyakarta: LTn-NU, 1995)

Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009)

Muhammad 'Ainun Na'iim

Muhammad 'Ainun Na'iim

MuhammadNa'iim

13

Artikel