Santri dan Dunia Literasi

Santri dan Dunia Literasi

Oleh : Muhamamd Izzat Firdausi*

Membaca dan menulis adalah kegiatan harian santri kapan dan di manapun. Dapat dikatakan bahwa kedua kegiatan tersebut adalah jendela untuk masuk ke dalam dunia literasi. Santri yang telah masuk ke dalam dunia tersebut bisa diibaratkan katak yang telah terbebas dari tempurung yang selama ini mengurungnya, ia bebas, ia dapat memandang dunia lebih luas, menjelajah dunia lebih jauh, dan bertutur-berlaku lebih bijak.

Dua kegiatan literasi tersebut dilakoni santri dari pagi hingga malam; membaca  Al Qur’an (menambah -mengulang hafalan), menerjemah, mempelajari gramatika, kesusastraan, akhlak, hukum, kaidah hukum, tafsir, tauhid, dan lain-lain. Sebuah pertanyaan sederhana, apakah kegiatan seabrek itu benar dapat membuat santri melek literasi? Jawabannya bisa iya dan tidak. Orang yang menjawab “iya” mungkin akan menyebutkan Gus Mus, Gus Dur, Cak Nur, Mbah Sahal, Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, dan lain sebagainya. Sedang untuk yang mengatakan “tidak”? Untuk apa mengenang orang yang tidak dikenal, aneh. Akhirnya, jawaban dari pertanyaan tadi adalah “iya”.

Meminjam makna membaca dari Seno Gumira Ajidarma; membaca yakni untuk memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya, dari definisi tersebut, apakah santri bisa dikatakan sudah membaca dengan benar? Pertanyaan ini mau saya jawab “tidak” berdasar dalih, “kan jalan kesuksesan orang berbeda-beda, dunia literasi mungkin bukan keahlianya, toh masa depan tidak ada yang tahu”. Tapi kadang saya juga ingin menjawab “iya” dengan dalih, “takut tidak dapat barokah karena terlalu mengkritisi pesantren”.

Coba kita amati di sekitar kita, apakah santri yang menyukai (tanpa paksaan) dunia literasi banyak? Seandainya kita memakai ukuran pers santri untuk mengukurnya, bagaimanakah hasilnya? Jika Al Munawwir mempunyai Almunawwir.com, Kodama punya Damar, Kopontren punya Intuisi, Komplek L punya El Tasrih, Komplek Q punya Mak Q News, GP dan Hindun-Anisah punya Blog, apakah berbagai pers santri tersebut bisa dijadikan jawaban?

Salah satu keuntungan kegiatan jurnalistik adalah mempunyai kosa kata yang beragam. Melalui pendidikan literasi, santri bisa mendefinisikan berbagai perkara yang ditangkap oleh indera, bisa menyuarakan pendapatnya ke publik, sedang dalam lingkup yang lebih kecil santri dapat mengerjakan makalah kampus tanpa kopi paste. Mantap. Dosen pembimbing pun akan bangga.

Literasi yang dilahap santri selama ini banyak menyinggung masalah kemanusiaan. Seharusnya kajian-kajian seperti itu dapat membuat santri lebih peka sosial dibanding anti sosial. Contoh kecil jika ada sampah bertebaran di sekitar segera dibersihkan, bukan malah abai dan memilih mojok di kamar sepanjang hari cekikikan memantau dunia melalui smartphone.

Maraknya akun media sosial dan website radikal yang menyuarakan hoax dan propaganda sungguh sangat meresahkan. Akun dan website tersebut secara terang menyuarakan dakwah yang sangat vulgar. Bagi mereka kata-kata yang di-tabu-kan di kalangan pesantren menjadi sangat populer. Dalam tataran ini, literasi menjadi kunci untuk berdakwah melalui media dengan cara yang lebih halus dan mendalam. Tapi, selain berjihad melawan radikalisme, santri juga dituntut berjihad di negeri yang resminya sudah bebas dari buta huruf namun sebagian besar masyarakatnya belum bisa membaca dengan benar.

Alih-alih berdakwah, ngaji saja banyak bolosnya, termasuk saya. Duh-duh, dasar santri.

*Penulis adalah Santri Komplek Taman Santri Krapyak Yogyakarta

baca juga :

Halaqoh Qur’an Di Komplek Ribathul Qur’an Al-Munawwir Krapyak

 

Redaksi

Redaksi

admin

522

Artikel