Kilas Balik Puasa Sunah ‘Asyura dan Keagungannya

Kilas Balik Puasa Sunah ‘Asyura dan Keagungannya

Salah satu bulan yang mendapatkan label hurum (mulia) adalah bulan Muharrom, bulan pertama dari kalender qamariyyah (hijriyyah) Islam. Di dalam bulan ini, terdapat puasa yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), yakni puasa sunah ‘Asyura.

Mengupas dibalik penamaan ‘Asyura sebagaimana yang dijelaskan Imam Al-Qurthubi merupakan isim ma’dul (yang dipindah) dari kata ‘Asyirah yang bertujuan untuk makna sangat (mubalaghah) dan pengagungan (ta’dzim). Asalnya lafal itu digunakan untuk sifat malam ke-10, karena diambil dari kata al-‘asyr sebagai nama bilangan puluhan (ismul-‘aqd) dan kata al-yaum yang disandarkannya.

Jadi ungkapan hari ‘Asyura (يوم عاشوراء) itu asalnya hari malam ke-10 (يوم الليلة العاشرة). Hanya saja lafal itu sudah menjadi ismiyyah (nama) yang akhirnya dikenal sebagai al-yaum al-‘asyir (hari ke-10). Namun, para ulama memindahkan kata sifat dan mengangap cukup maushuf-nya, lalu dibuanglah kata al-lailah (malam) sehingga menjadi sebuah nama al-yaum al-‘asyir (hari ke-10).

Al-Jawaliqi berpendapat lafal عَاشُوْرَاءُ itu bukan mengikuti wazan فَاعُوْلَاءُ, yang ada adalah lafal ضَارُوْرَاءُ، سَارُوْرَاءُ، دَالُوْلَاءُ yang berasal dari lafal ضَارٌّ، سَارٌّ، دَالٌّ. Dalam hal ini hari ‘Asyura adalah hari ke-10, ini pendapatnya Al-Khalil dan lainnya. Al-Zain bin Al-Munir mengatakan mayoritas ulama memahami ‘Asyura adalah hari ke-10 dari bulan Allah, Muharrom.

Sampai di sini, penamaan ‘Asyura masih dipahami pada tanggal 10 Muharrom. Lantas bagaimana bila ada pendapat yang mengatakan hari ‘Asyura adalah tanggal 9 Muharrom?. Dalam Fathul Bari (Beirut, Darul Ma’rifah, 1379 H, juz IV, hal. 245), penamaan ‘Asyura tidak berhenti pada satu titik terang. Mereka yang mengatakan ‘Asyura adalah yaum al-tasi’ (hari ke-9) itu diambil dari kisah ternak unta. Dulu orang-orang beternak unta pada hari ke-8, lalu masuk pada hari ke-9 mereka mengatakan: “kami telah masuk ‘Isyran (hari ke-9)”.

Kita lihat kembali riwayat Imam Muslim dari jalur Al-Hakam bin Al-A’waj, saya sampai kepada Ibnu Abbas dalam kondisi serbannya masih tersampir. Lalu saya bertanya: “kabarkanlah kepada saya tentang hari ‘Asyura.” Ibnu Abbas berkata: “ketika engkau melihat hilal bulan Muharrom, maka bersiaplah dan berpuasalah pada hari ke-9 (واصبح يوم التاسع صائما).” Saya bertanya lagi: “apakah Nabi Saw. berpuasa pada hari tersebut?” Ibnu Abbas menjawab: “Ya, berpuasa.”

Dalam hadis di atas, tampak jelas maksud hari ‘Asyura adalah hari ke-9 Muharrom. Namun Al-Zain bin Al-Munir meluruskan maksud hadis tersebut: اِذَا اَصْبَحْتَ مِنْ تَاسِعِهِ فَاَصْبِحْ يُشْعِرُ بِاَنَّهُ اَرَادَ اْلعَاشِرَ… الخ (ketika kamu sudah masuk pagi hari ke-9 itu kamu pasti sudah mengira bahwa kamu akan berpuasa pada hari ke-10, sebab tidak mungkin seseorang berpuasa setelah masuk pagi hari ke-9 kecuali dia memang akan niat puasa pada malam setelahnya yakni malam ke-10).

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menguatkannya dengan riwayat Imam Muslim lainnya, yakni dari Ibnu Abbas bahwasannya Nabi Muhammad Saw. bersabda: “jika saya hidup sampai tahun depan saya akan berpuasa pada hari ke-9.” Akan tetapi Nabi wafat sebelum terjadi hari itu.”

Maksud teks hadis tersebut bahwa Nabi Muhammad Saw. akan berpuasa pada hari ke-10 dengan niat puasa di hari ke-9 (malam hari), namun sebelum itu terjadi beliau telah berpulang ke haribaan-Nya.

Sebagian cendikiawan muslim menjelaskan maksud yang disampaikan Rasulullah di atas memunculkan dua asumsi: 1).‘Asyir itu dimaksudkan pada hari ke-9; 2). Puasa yang dimaksud adalah hari ke-10. Namun, Rasulullah wafat sebelum menjelaskan maksud itu, akhirnya sebagai langkah hati-hati (ihtiyath) para ulama memutuskan berpuasa pada dua hari (9 dan 10).

Lantaran demikian, puasa ‘Asyura terdapat tiga tingkatan: Pertama, puasa hari ke-10 saja (puasa ‘Asyura); Kedua, puasa hari ke-9 dan ke-10 (puasa Tasu’a dan ‘Asyura); Ketiga, puasa hari ke-9, ke-10, dan ke-11 (puasa Tasu’a, ‘Asyura, dan Muharrom).

Disyariatkannya puasa sunah ‘Asyura ini sebagai pembeda dengan umat Yahudi dan Nasrani, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Ahmad, dari Ibnu Abbas dengan hadis marfu’: صُوْمُوْا عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوْا اْليَهُوْدَ صُوْمُوْا يَوْمًا قَبْلَهُ اَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ (berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura dan bedakanlah kalian dengan umat Yahudi, berpuasalah di hari sebelumnya atau hari setelahnya).

Dari hadis di atas, dapat diketahui bahwa hikmah puasa ‘Asyura itu untuk membedakan umat Muslim dengan umat Yahudi yang berpuasa di hari ke-10 saja, alasan kenapa umat Yahudi dan Nasrani mengagungkan hari ‘Asyura, karena pada hari itu Nabi Musa selamat dari kejaran bala tentara Fir’aun sekaligus tenggelamnya Fir’aun. Begitu juga Nabi Isa tetap mensyariatkan puasa pada hari itu. Oleh karenanya, kita membedakannya dengan puasa di hari sebelumnya (ke-9, disebut Tasu’a) dan hari setelahnya (ke-11, disebut puasa Muharrom).

Hikmah lainnya adalah untuk mencegah pengkhususkan (ifrad) seperti hari Jum’at yang tidak boleh puasa pada hari itu saja. Akan tetapi, dalam kitab Al-Umm menjelaskan tidak ada larangan seseorang berpuasa pada hari ke-10 saja. (Lihat Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu‘in pada hamisy I‘anatut Thalibin, Beirut, Darul Fikr, 1997 M/1418 H, juz II, hal. 301)

Di samping Nabi memberikan komando untuk berbeda dengan umat Yahudi, juga beliau suka menyamakan dengan ahli kitab selama tidak ada larangan apapun. Tetapi setelah kejadian pembebasan kota Makkah dan ajaran Islam semakin luas, Nabi lebih suka berbeda dengan ahli kitab.

Keagungan Puasa Hari ‘Asyura

Keagungan puasa hari ‘Asyura adalah menghapus dosa (kecil) satu tahun sebelumnya, sebagaimana dalam kitab Fathul Bari (hal. 249) meriwayatkan riwayat Imam Muslim dengan hadis marfu’, dari Abi Qatadah: إِنَّ صَوْمَ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً وَإِنَّ صِيَامَ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ (sesungguhnya puasa hari‘Asyura itu menghapus dosa setahun dan puasa hari ‘Arafah menghapus dosa dua tahun).

Riwayat lain dalam kitab Shahih Muslim (cet. Dar Thaibah, 1426 H, hal. 518, no. 1162), dari Abi Qatadah:

…ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ثَلَاثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ، صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ»

Artinya: “… puasa hari ‘Arafah saya berharap kepada Allah agar menghapus dosa tahun lalu dan tahun sesudahnya (2 tahun). Dan puasa hari ‘Asyura saya berharap kepada Allah agar menghapus dosa satu tahun sebelumnya”.

Dari kedua teks hadis di atas, memberikan pemahaman bahwa puasa ‘Arafah lebih utama dari puasa ‘Asyura, sebab puasa ‘Arafah itu khusus untuk umat Nabi Muhammad Saw., sementara puasa ‘Asyura itu nisbat dari syariat Nabi Musa As. Sedangkan Nabi Muhammad Saw. itu afdhalul anbiya’ (lebih utamanya para Nabi). Wallahu A’lam.

Irfan Fauzi

Irfan Fauzi

IrfanFauzi

15

Artikel