Ibu-Ibu Muslimat Bukan Kader Amatiran

Ibu-Ibu Muslimat Bukan Kader Amatiran
Sumber Foto: Bincangsyariah.com
Bu Khofifah memberikan wejangan kepada Ibu-Ibu Muslimat di GBK. Sumber Foto: Bincangsyariah.com

Oleh: Hafidhoh Ma’rufah*

Agustus lalu, Stadion Umum Gelora Bung Karno (GBK) penuh dengan warna merah putih akibat puluhan ribu supporter Indonesia mendukung para atlet di pesta olahraga Asian Games, sementara pada Minggu, 27 Januari 2019 kemarin, GBK bah Samudra hijau. Ribuan ibu-ibu dari hampir seluruh penjuru nusantara tumplek blek di GBK. Hujan yang mengguyur sedari dini hari, tak menyurutkan langka emak-emak ini untuk memenuhi stadion yang dibangun menjelang Asian Games 1962 ini. Mereka ke stadion bukan untuk kampanye apalagi nonton bola, tapi hendak muslimatan. Apa itu?

Muslimatan seperti sudah menjadi sebuah kata kerja. Ketika mendengar sebuah percapakan, “ Hendak ke mana bu?”, “Mau muslimatan,”. Beberapa orang akan paham apa yang hendak dilakukan oleh orang yang menjawab akan muslimatan. Ya muslimatan adalah kegiatan yang berisi pembacaan sholawat, kalimat-kalimat tayibah (istighosa, manaqib, tahlil), dan ayat-ayat suci Alquran atau bahkan pengajian. Tak hanya acara yang tergolong kegiatan berbagu agama, selain itu ibu-ibu muslimat juga mempunyai beberapa agenda di bidang sosial, budaya, kesehatan, ekonomi, perempuan tentunya.

Peringatan hari lahir Muslimat NU yang ke 73 GBK kemarin menyisakan beberapa cerita takjub. Tentang segerombolan ibu-ibu bahkan mbah-mbah yang rela menempuh perjalanan jauh demi hadir di ibu kota. Tapi tak sedikit yang nyinyir ini pasti agenda paslon nomor xxx, ini pasti dibiayai pemerintah, ini ini dan itu.

Sebelumnya, hal yang harus diketahui adalah bahwa ibu-ibu muslimat yang datang ke GBK bukan lah kader amatiran. Mereka lahir dari rahim tradisi NU yang mengakar kuat di pelosok-pelosok kampung atau pun di gang-gang kecil kota. Suara lantunan sholawat nabi menggema lewat mikrofone musholla, bacaan tahlil mengudara di langit-langit sebagai bentuk komunikasi dengan keluarga atau saudara yang meninggal terlebih dahulu, juga suara kalimat tayibah yang keluar dari bibir ibu-ibu di sela kesibukan mengais rupiah atau mengurus keluarga. Tampak ikhlas. Sekali lagi mereka bukan kader bayaran atau musiman. Mereka menjaga tradisi yang sudah diturunkan dari pada pendahulu, dari generasi ke generasi.

Ah ke GBK kan mahal, biaya dari mana? Jauh juga. Selain kegiatan di kampung, ibu-ibu muslimat mempunyai beberapa tradisi lagi yang pelaksanaannya bisa lintas desa, kota, bahkan provinsi dan pulau. Apa itu? Pengajian dan ziarah makam para wali. Ibu-ibu muslimat sudah biasa menaiki mobil truk, pick up, atau motor tossa untuk mendatangi suatu majlis ilmu. Panas-panasan dan kehujanan menjadi warna tersendiri dalam perjalanan ke pengajian. Apalagi kalau yang datang kiai super lucu, macam K.H. Anwar Zahid, wah lapangan sepak bola kampung bisa penuh oleh pasukan ibu-ibu ini.

Tradisi kedua, ziarah makam. Jawa memiliki 9 wali yang tersebar di 3 provinsi dan ratusan ulama yang tersebar di setiap kabupaten atau kota. Hampir setiap tahun, jama’ah NU di desa-desa punya agenda tahunan untuk ziarah ke makam wali. Baik yang jauh maupun yang dekat. Biayanya? Jangan ditanya pasti ratusan ribu bahkan hampir jutaan. Tapi semua itu dilakukan dengan rela. Mereka menabung sedikit demi sedikit untuk biaya ziarah, dari sewa bus, makan, hingga biaya masuk toilet. Ratusan anak tangga menuju makam juga dilalui dengan senang hati. Lelah, ya pasti lelah. Tapi menziarahi makam para wali adalah salah satu upaya mendekat kepada Tuhan.

Dari sini, apa kau masih bertanya-tanya? Bagaimana ibu-ibu ini bisa rela datang ke GBK, padahal rumahnya di desa terpencil, ribuan kilometer dari ibu kota? Sudah dibilang, ibu-ibu muslimat bukan kader amatiran yang baru kemarin hijrah. Sejak dini mereka sudah lahir dan berinteraksi dalam bingkai tradisi keagamaan di desa. Tak heran bila mereka mau datang ke GBK, walau hanya sekedar membaca Alquran atau sholat hajat. Sebuah keberkahan dari Tuhan yang mereka harapkan akan turun di GBK dari doa yang keluar tulus dari ibu-ibu muslimat untuk keselamatan bangsa.

 

Muslimat NU dan Perjuangan Kaum Ibu

Menes, sebuah kota kecil di Pandeglang, Banten akan menjadi kota yang tak terlupakan dalam sejarah pembentukan Muslimat Nadhatul Ulama. Pada tahun 1938, NU menggelar Muktamar ke XIII. Apa yang spesial dari muktama ini? Pada muktamar Menes, untuk pertama kalinya perempuan berkesempatan berdiri di mimbar untuk menyampaikan gagasannya untuk kesetaraan gender dalam mengakses ilmu pengetahuan dan berorganisasi.

Pada waktu itu, tercatat kurang lebih 8000 perempuan hadir memadati muktamar, baik di dalam maupun di luar gedung. Sebenarnya embrio berdirinya organisasi untuk perempuan ini sudah lahir sejak muktamar sebelumnya di Surabaya pada tahun 1937. Salah satu tokohnya adalah Nyai Chasanah Mansjur.

Lahirnya embrio di Surabaya menarik para perempuan untuk datang ke Menes untuk menuntaskan misi yang belum selesai di Surabaya.

Pada muktamar Menes ini, perempuan baru diterima sebagai anggota, tetapi belum mendapat izin menjadi pengurus. Salah satu pidato yang menarik para peserta muktamar adalah pidato Nyai Dunaisih. Ia menyampaikan cukup panjang filosofi berdirinya organisasi perempuan NU yang bertujuan unutk mendidik kaum perempuan Islam. Perempuan juga berhak mendapatkan ilmu pengetahuan seperti laki-laki. Perempuan juga wajib hukumnya menuntut ilmu. Sambutan ini mendapat tepuk tangan gemuruh dari peserta.

Pada muktamar Magelang (1939), sudah terdapat kemajuan. Perempuan mendapatkan kesempatan bertindak sebagai pimpinan sidang. Selanjutnya pada muktamar Surabaya (1940), telah diusahakan berdirinya badan tersendiri bagi perempuan, dari sisi aturan maupun pengurus. Baru pada muktamar ke-16 di Purwokerto (1946), Muslimat resmi menjadi bagian NU dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) pada 29 Maret 1946 atau 26 Rabiul Akhir 1465. Pada muktamar 1952 di Palembang, Muslimat secara resmi menjadi badan otonom NU dengan nama Muslimat NU.

Dalam perjalanannya, Muslimat telah berperan dalam memajukan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi keluarga Indonesia. Dalam kongres ke-3, Mei 1950, dengan tegas Muslimat menyatakan dalam tugasnya “……memperhebat pemberantasan buta hurus di kalangan wanita Indonesia”.

Menilik sejarah berdirinya Muslimat, selama 73 tahun organisasi ini telah berkiprah untuk kemaslahatan umat. Muslimat telah membangun pondasi kuat bagi perempuan agar memperoleh hak untuk belajar sama seperti laki-laki. Setahun lebih mudah dari usia republik ini, tentunya Muslimat sudah sangat faham dinamika kehidupan perempuan Indonesia. Sekali lagi, Muslimat NU bukan kader kemarin sore.

 

*Lurah Komplek Q Pondok Pesantren Almunawwir Krapyak

Redaksi

Redaksi

admin

522

Artikel