Puasa, Nafsu Konsumtif dan Perhiasan Ramadan

Puasa, Nafsu Konsumtif dan Perhiasan Ramadan

Bergulirnya waktu tak terasa telah menghantarkan kita di pengujung bulan suci Ramadhan. Tamu agung itu kini akan berpamitan meninggalkan kita dengan sejuta pelajaran dan kebaikan sebagai hadiah terbaik bagi umat Islam. Deraian air mata kerinduan karena perpisahan dengan tamu agung ini dirasakan oleh umat Islam di seluruh dunia, sebagaimana para sahabat meneteskan air mata kesedihan karena takut tidak bisa bertemu kembali dengannya. 

Tak terasa beberapa hari lagi bulan Ramadhan akan berakhir. Bulan penuh keberkahan ini akan berlanjut dengan euforia Hari Raya Idul Fitri. Tetapi, berakhirnya bulan ini menyisakan duka bagi umat muslim. Sebab, kenikmatan beribadah di bulan ini tidak dapat dijumpai di bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu, mari kita renungkan apa yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan sebagai refleksi di bulan-bulan berikutnya.

Sudah sepantasnya apabila di hari-hari terakhir ini, di samping kita mengoptimalkan ibadah kepada Allah SWT, juga kita melakukan introspeksi sejauh mana pengaruh positif ibadah shaum ini terhadap akhlak dan perilaku keseharian kita. Karena sesungguhnya indikator keberhasilan suatu ibadah, di samping ditentukan pada saat ibadah tersebut dilakukan, juga pada perilaku sesudahnya. Aktualisasi takwa yang mengantarkan pada keberuntungan, kasih sayang Allah, dan kebersyukuran tersebut harus dapat dibuktikan dalam kehidupan nyata. 

Sebagaimana ibadah salat yang kita dirikan, misalnya, akan menjadi salat yang maqbullah (diterima) manakala shalat tersebut dilakukan dengan khusyu’, penuh kesungguhan, memenuhi syarat dan rukunnya, dan dapat mencegah kita dari perbuatan keji dan munkar (QS Al-Ankabut: 45). Apalagi ditambah dengan ibadah Sholat Sunah rawatib, Sholat Tarawih yang rutin, melaksanakan kebaikan lainnya.

Internalisasi karakter dan perilaku baik yang diajarkan ibadah shaum dan ibadah lain yang terkait dengannya, sehingga menjadi sebuah kepribadian yang melembaga dalam kehidupan kita, adalah hal yang sangat penting untuk menilai sejauh mana ibadah shaum kita diterima Allah SWT. Beberapa perilaku positif yang dihasilkan melalui ibadah shaum, selalu sabar dan ulet dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan baik yang diperintahkan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilarang, meskipun menghadapi berbagai macam godaan dan tantangan yang harus dilalui.

Orang yang sabar tidak akan pernah frustasi dan putus asa dalam menata kebaikan. Karena sesungguhnya tantangan dan kesulitan merupakan sunnatullah dalam kehidupan (sunnatullah fi al-hayat). Sifat sabar merupakan sumber energi dan kekuatan yang tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah melemah. Ibadah shaum sejatinya melatih kesabaran dan keuletan pada tingkat yang optimal. Oleh karena itu, orang yang berpuasa akan selalu optimis dalam menebarkan kebaikan dan dalam melaksanakan amar ma’ruf wa nahyu anil munkar.

Pada bulan Ramadan, Allah SWT menetapkan puasa sebagai fardu dan shalat tarawih sebagai sunah. Barangsiapa melakukan ibadah sunah pada bulan ini, pahalanya seolah-olah ia melakukan ibadah fardu pada bulan-bulan lainnya. Barangsiapa melakukan ibadah fardu pada bulan ini, pahalanya seolah-olah ia telah melakukan 70 ibadah fardu pada bulan-bulan lainnya.

Ada banyak pelajaran dalam puasa, salah satunya pelajaran mengendalikan nafsu konsumtif. Nafsu konsumtif adalah hasrat yang mengarah pada tingkat penggunaan suatu barang tertentu secara berlebihan, dengan menghabiskan tanpa pernah berpikir untuk membuat atau menghasilkan sesuatu. Diantaranya, Takwa sebagai proses perjalanan hidup yang harus dilalui Muslim sejatinya dapat mengantarkan pada derajat dan kualitas hidup yang lebih tinggi. Karena itu, perintah bertakwa dalam Alquran itu disertai dengan harapan-harapan masa depan yang lebih baik, yaitu menjadi orang-orang yang beruntung, mendapat rahmat Allah SWT, dan menjadi orang-orang yang bersyukur.

Nafsu konsumtif akan membawa manusia pada pola hidup yang berlebihan, yang nantinya juga akan membuat dia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Homo homini lupus boleh jadi benar jika melihat berbagai kejadian belakangan ini. Dalam hal duniawi, ia tak pernah cukup dengan apa yang dimilikinya. Ia memiliki watak seperti ‘serigala’, tapi dalam bentuk yang lain. Alih-alih ia mempraktikkan amanah, namun ia justru mempraktikkan khianat. Ia disuruh berlaku adil namun ia justru berlaku dzalim. Ia mengingkari amanah suci yang diembannya. Jabatan yang sejatinya dapat berkontribusi postif bagi masyarakat banyak, tapi justru hanya memberikan keuntungan sesaat bagi sebagian orang.

Pelajaran berikutnya adalah mengenai kejujuran. Puasa Ramadhan menuntun kita untuk berlaku jujur. Mungkin, di depan banyak orang kita mengatakan tak makan, minum dan lainnya yang membatalkan puasa, tetapi bisa jadi di belakang sebaliknya. Ini ujian kejujuran di bulan Ramadhan. Pelajaran ketiga ini amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Para pengampu jabatan di lembaga manapun mesti belajar pelajaran ini. Pelajaran itu amat bermanfaat bagi manusia sebagai bekal berharga di kemudian hari.

Sudah optimalkah kita berpuasa dan ibadah lainnya selama bulan Ramadan ini?

Pertanyaan ini patut kita renungkan baik-baik, apalagi bulan Ramadan 1440 H sebentar lagi akan berakhir. Banyak orang yang berpuasa, namun yang didapatkan hanya lapar dan haus. Penyebabnya, orang-orang yang melakukan hal itu tak memahami hakikat puasa yang diwajibkan, sehingga Allah SWT tak memberikan pahala kepadanya. Menganggap bahwa Ramadhan kali ini mungkin Ramadhan terakhir, sehingga dapat menjaga kita dari kegagalan di bulan Ramadan, sangat penting. Ia akan tolak semua acara yang dapat membuatnya menyia-nyiakan bulan Ramadan, seperti acara nongkrong tak jelas dan lain-lain.

Tantangan terberatnya adalah bagaimana menjadikan Ramadan tetap hidup dalam rentang waktu 11 bulan ke depan, terutama setelah beberapa hari lepas dari Ramadan, saat lebaran dan selanjutnya. Oleh karena itu, mumpung masih dalam 10 hari terakhir Ramadan inilah penentu, karena momentum tersebut adalah puncak dari tarbiyah diri, puncak dari jihad, puncak dari mujahadah. Tentu saja harus benar-benar dapat difokuskan dan dipertahankan. Inilah momentum pembebasan yang harus benar-benar diraih dalam bulan Ramadan.

Pasca Ramadan hanya ada dua pilihan; beruntung atau buntung (dalam ketakwaan). Faktanya bermacam-macam kondisi ketaqwaan orang-orang beriman selepas mengarungi “lautan mutiara” bernama bulan Ramadan. Esensi Ramadhan adalah momentum spesial “karantina suci” satu bulan penuh, menggembleng jiwa-jiwa yang beriman untuk menjadi lebih unggul, dan prestasi puncaknya yaitu menggapai “honoris causa” suci dari Allah swt berupa; takwa. Identiknya suatu karantina, berkualitas atau buruknya hasil tergantung pada kemauan dan keseriusan pribadi peserta. Pasca karantina bernama Ramadan, tentu berbeda-beda hasilnya, dari masing-masing “peserta”, ada yang mendapatkan hasil maksimal, ada yang sederhana.

Saatnya kita sebisa mungkin memanfaatkan dan mempertahankan kebaikan selama Ramadhan sebagai momen istimewa untuk bermuhasabah, berbenah diri dan mendekatkan diri, dan bertaqwa kepada Allah SWT dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga Taqwa sosial dari tempaan Ramadan bisa menjadi berarti dalam tumbuhnya kesadaran kolektif dan komitmen kuat di kalangan umat Islam untuk membangun peradaban yang berkemajuan. Ramadan memang didesain untuk membentuk pribadi yang saleh. Karakteristik itu sangat diperlukan untuk membangun budaya prestasi dan berkemajuan bagi umat Islam, bangsa dan negara.

Oleh: Irfan Asyhari (Redaktur Ahli Almunawwir.com)

Irfan Asyhari

Irfan Asyhari

IrfanAsyhari

8

Artikel