Bahasa Bu Nyai Sukis

Doc : almunawwir.com

Ibu Kiai Zainal namanya Bu Nyai Sukis (istri Mbah Kiai Munawwir). Bu Sukis satu rumah dengan Mbah KH. Ali Maksum (menantu) dan anak-anak beliau, yakni Gus Bik (KH. Atabik Ali), Mbak Ifah, Mbak Genuk, Gus Jis (KH. Jirjis Ali). Gus Kelik (almarhum) dan Mbak Ida belum lahir waktu itu.

Bu Nyai Sukis ‘kan juga sudah sepuh, selain itu dahulu di zaman Mbah Munawwir masih sugeng santri juga masih terbilang sedikit. Bahasa yang dipakai sehari-hari masih bahasa Jawa, sebab santri-santri kebanyakan dari Jawa Tengah dan sedikit dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Sangat jauh berbeda ketika zaman Mbah Ali memegang kendali. Wow, santri-santri dari Jakarta membludak, terutama dari Klender.

Bersamaan dengan perkembangan pondok, dan santri-santri yang memakai bahasa Indonesia mulai banyak, otomatis Bu Nyai ‘kan sering mendengar bahasa Indonesia dari Bu Hasyimah (istri Mbah Ali). Lama-lama berani memakai bahasa Indonesia meskipun dengan kosakata terbatas.

Baca Juga : Harlah, Momentum Sejarah Hingga Memoar Mbah Zaenal

Tan kocapo, suatu hari ada tamu keluarga dari Jakarta. Begitu pagi saat sarapan, hidangan sudah di hadapan para tamu, ditinggal Bu Hasyimah mengambil sendok. Saat itulah Bu Nyai Sukis yang ambil peran mempersilakan tamu, “Ayo makan, ayo makan.”

Tamu pun paham. Mulailah mereka ambil nasi dan lauk. Ketika tamu mau ambil sayur, lha dalah, Bu Nyai Sukis nyeletuk, “Ya, ini jangan, ini juga jangan.”

Tamu merasa bingung. Pikirnya, “Mau ambil sayur kok tidak boleh?” Akhirnya diurungkan, tidak jadi ambil, cukup makan tanpa sayur.

Begitu Bu Hasyimah datang, dan mempersilakan ambil sayur, oooh baru paham bahwa ‘jangan’ itu bahasa Jawa dari sayur. Tapi sudah kadung malu mau ambil sayur dibatalkan, “Ambil tempek lagi aje dah.”

Anaknya yang menjadi santri menegur, “Bu, di sini ‘tempe’ nggak pake ‘k’!” Sang ibu menyahut, “Iye, iye, tempek ‘kan?”
Allahu yarham

29 April 2015


*Diambil dari naskah yang sedang saya sunting (belum jadi buku), “Mengenang Mbah Zainal; 50 Fragmen Keteladanan KH. Zainal Abidin Munawwir susunan KH. Munawir Abdul Fatah dilengkapi Kumpulan Khutbah Mbah Zainal rangkuman KH. Hilmy Muhammad Hasbullah” – fragmen 29 halaman 53-54

**Salah satu pesan sekaligus teladan Mbah Zainal di hari Jumat; ketika jumatan, datanglah ke masjid awal-awal jauh sebelum adzan berkumandang, lalu jangan lupa shalat taubat 2 rakaat, kemudian shalat dhuha minimal 4 rakaat. 

Diskusi Pesantren dan Post-Truth, Dr. Moch Nur Ichwan : Memahami Identitas Pesantren dan Kampanye Islam Moderat adalah Modal Utama Santri

Doc @komplek_H

Krapyak –  Arus informasi, dalam perkembangan teranyar, kini menikam titik nadir manusia. Fakta dan opini berjibaku dan berseliweran di dinding media sosial yang menjadi saluran utama persebaran informasi. Arusnya tak terbendung. Sebab produksi informasi, kini kian diminati oleh banyak kalangan dari banyak kepentingan.  

Informasi lantas menjejaki hal dasar manusia yaitu keingin-tahuan. Segala soal disajikan. Akhirnya, informasi tidak jauh nasibnya dengan parade komentar-komentar yang saling bersahut-sahutan. Baik itu berupa pujian, gagasan-gagasan cemerlang, kritik dan saran ataupun fitnah dan ujaran kebencian.

Ha ini berimbas pada apa yang belum lama ini dirasakan oleh pihak Pesantren Al Munawwir yaitu hoaks. Dalam kasus ini pihak Jpnn mencatut nama baik KH Najib Abdul Qodir, menyebut akan mengultimatum Jokowi jika tidak mendeklarasikan Cak Imin sebagai Cawapres.

Itu hanya segelintir contoh. Sebab masih banyak lagi kasus hoaks yang diproduksi di era informasi ini.

Persolannya kemudian, apakah masyarakat pesantren sanggup menghadapi era disruptif informasi ini? Perangkat dasar inilah yang memantik Lembaga Kajian Islam Mahasiswa komplek H untuk mendiskusikan secara serius mengenai “Tantangan Intelektualisme Pesantren di Era Pasca Kebenaran (Post-Truth)

Baca Juga : Membendung Paham Radikal, Sahal : Santri Perlu Formulasi Jitu

Moch. Nur Ichwan, Narasumber yang juga Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga mencoba menjawab dengan memulai pembahasannya mengenai genealogi keilmuan pesantren.

“Modal utama yang kita (santri) miliki adalah warisan-warisan dari para leluhur kita.” Ujar Pak Ichwan sembari memperlihatkan slide-nya berisi tradisi keilmuan pesantren dari Rasulullah sampai Pesantren Tegalsari.

“Mulai dari kitab-kitab turats hingga gerakan para ulama dan kiai dalam memperjuangkan ideologi Islam Washatiyyah dan kedaulatan bangsa Indonesia.” Imbuh alumni komplek H  Ali Maksum tersebut.     

Dengan pembawaan santai, beliau memaparkan secara detail akar ideologis dan historis pesantren di nusantara. Selain memproduksi kitab-kitab berbahasa Arab, banyak ulama-ulama nusantara juga membahasakan kitab dengan bahasa Jawa, seperti KH Sholeh Darat, KH Bisri Mustofa, dan lain sebagainya.

Selain itu, banyak ulama kita mencoba untuk bergerak lewat jalur penulisan. Mereka banyak mengomentari isu-isu terkini dan memberikan gagasan-gagasan cemerlang mengenai kondisi bangsa lewat menulis di media massa. Sejauh ini, cara seperti inilah yang patut kita pertahankan.

Baca Juga : Prof. Dr. M. Chirzin : Pesantren adalah Cagar Budaya Islam dan Persemaian Kader Ulama

Pak Ichwan juga memberikan formulasi bagi santri dalam ikhtiar membangkitkan intelektualisme pesantren di era kontemporer ini. Bahwasannya santri harus tetap melanggengkan kaidah “al muhafadzatu ala qodimi ash-sholih wal akhdzu bi al jadidi al ashlah” menjaga tradisi lama yang baik, sembari menyeleksi tradisi-tradisi baru yang dirasa cukup baik.

“Santri harus meneguhkan pendirian dalam mengampanyekan Islam Washathiyah atau Islam moderat yang berprinsip: tasamuh (toleransi), tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (seimbang).”

Diskusi yang diselenggarakan di aula komplek H Ali Maksum tersebut dihadiri oleh puluhan santri dari berbagai komplek di Pesantren Krapyak. Turut hadir dalam acara itu adalah KH Afif Muhammad (Pengasuh komplek H), KH Mushlih Ilyas dan dewan asaatidz lainnya. Acara kemudian ditutup dengan doa yang dibawakan oleh KH Mushlih Ilyas. (aq)

Harlah, Momentum Sejarah Hingga Memoar Mbah Zaenal

Doc: @ittaqifawzia

Agaknya perlu kita refleksikan bersama. Genggaman uswah tidaklah hadir begitu saja, di balik itu ada sejarah bernilai kebaikan dan berkah dari Sang Muasis, Sang Tauladan. Laku ikhlas dan pulir-pulir doa panjang merekalah penyebab keteladanan masih eksis hingga jaman millenial ini.

Tepat 4 Agustus 2018 lalu merupakan momentum pengerat genggaman uswah itu. Hari lahirnya Ibu kita bersama Ibu Nyai Hj. ida Fatimah Zainal S. Ag., M.S.I, sekaligus berdirinya Komplek R2 Ponpes Al-Munawwir, Krapyak Yogyakarta. Para santriwati sungguh emosional dan bahagia mensyukuri hari jadi ini. Kerajaan kecil yang selama ini menjadi tempat bernaung berbahagia beserta Bu Nyai sebagai Sang Ratu penebar uswah cinta masih senantiasa Alloh beri keberkahan dan kelimpahan rohmat.

Para santri melangitkan doa-doa terbaiknya sebagai bentuk syukur dan terima kasih yang tak terkira. Tak kurang dari 14 kali majlis khataman Al-Qur’an dihelat sebagai pengingat hari jadi Komplek R2 yang ke 14. Semilir Sholawat Nariyyah khusyuk terhembus 66.666 kali khusus untuk Ibu Nyai Ida tercinta yang berulang tahun ke 66. Ada pula kegiatan kebersamaan guna memupuk kasih sayang sesama santri maupun masyarakat sekitar, di antaranya senam bersama, lomba-lomba antar lantai, bakti sosial hingga kerja bakti di lingkungan dalam dan luar pesantren.

Malam puncak sedemikian anggun disuguhkan tadi malam tepat 16 Agustus 2018 dengan Talk Show bersama Bu Nyai Ida bertajuk “Petik Uswah Melalui Sejarah”. Santriwati dan seluruh penyimak live streaming akun instagram @komplek_r2 mendapatkan banyak sekali uswah dari Bu Nyai yang murah senyum ini. Beliau bukan hanya saksi tetapi juga sebagai pelaku sejarah. Tak sedikitpun para santriwati melewati momentum penting ini.

Baca Juga : Wisuda Salafiyah V, Bu Nyai Ida Fatimah : Kita Harus Tetap Istiqomah Menjadi Santri

Yang pertama menjadi topik pembuka adalah pertanyaan terkait berdirinya Komplek R2. Ternyata sebelum menjadi sebuah gedung, dulunya Komplek khusus mahasiswi ini adalah tanah milik seorang non-Islam. Suatu ketika Ibunda dari Bu Nyai Ida berdoa semoga suatu saat tanah itu menjadi milik putri Beliau dan dapat dimanfaatkan sebagai tempat memperluas khazanah keilmuan. Gayung bersambut, ternyata pemilik tanah tersebut adalah teman sepermainan Almaghfurlah Kiai Zainal Abidin Moenawwir. Maka ditemani oleh Bu Nyai Ida, Bapak–Almaghfurlah Yai Zainal mengutarakan ingin membeli tanah tersebut. Bapak adalah sosok yang santun, meski dengan teman saat kecilnya dulu, ketika sudah dewasa Bapak akan menghormati dengan menggunakan bahasa jawa halus. Sampai-sampai pemilik tanah tersebut merasa tidak enak karena terlalu dihormati. Kemuliaan akhlak Beliau lah akhirnya mampu mencairkan kebekuan hati, dengan senang hati tanah tersebut dibeli oleh Bu Nyai Ida.

Tahun demi tahun berselang, akhirnya dengan mantap Bapak dan Ibuk Nyai berinisiatif mendirikan komplek R2. Sebelum memulai sesuatu, Almaghfurlah Yai Zainal pasti membiasakan untuk melakukan kebaikan terlebih dahulu. Semisal mengadakan syukuran berhias lantunan khataman Alquran maupun bacaan-bacaan thoyyibah lainnya.

Semakin menarik lagi saat sesi tanya jawab, pertanyaan pertama adalah bagaimana apabila dalam pernikahan seorang istri memiliki pengetahuan agama lebih tinggi daripada suami. Maka dengan bijak Ibu Nyai menjelaskan, bahwasannya semua bisa dikomunikasikan, jika pada saat awal si istri terus menerus menyalahkan suami, yang ada hanyalah masalah, bahkan perpisahan. Maka tugas sang istrilah yang mengajari suaminya ilmu agama dengan santun agar terbentuk sosok pemimpin yang diinginkan. Sebagaimana suasana rumah tangga Ibu Nyai dengan Almaghfurlah Yai Zainal, sebelum mengajar, Ibu selalu sorogan kitab dan mempelajarinya terlebih dahulu bersama Bapak. Jadi tidak ada kalimat merendahkan, yang ada hanyalah saling mengisi.

Dalam talk show Ibu Nyai Ida juga berpesan kepada seluruh santriwati, jika belum ada kata “Qobiltu”, maka jangan terlalu dekat dengan lawan jenis. Sebab semua hal yang besar berawal dari yang kecil. Dengan kata lain, dosa-dosa besar yang kemungkinan terjadi pasti diawali dengan perbuatan dosa-dosa kecil terlebih dahulu.

Baca Juga : Semarak  Wisuda  Madrasah  Salafiyah  V

Dilanjutkan pertanyaan kedua terkait tips langgeng ala pernikahan Bu Nyai Ida dengan Yai Zainal yang terkenal romantis. Ternyata selama pernikahan, Bapak tidak pernah memarahi Ibu, ketika Ibu berbuat salah maka Bapak menggunakan cara humoris,

“Jadi, Bapak tu nggak pernah marah, kalau saya salah, tiba-tiba Bapak minta Ibu mengambil kitab. Setelah saya ambil, saya disuruh membacakan suatu bab. Eh lha kok ternyata kitabnya itu membahas tentang kekhilafan yang telah saya perbuat”.

Langsung ibu menimpal, “Yah, nyindir aku yaa”,

Almaghfurlah Yai Zainal lantas menjawab dengan tenang, “aku ra nyeneni, wong sing ngomong kitab og”, seketika tertawalah seluruh perserta talk show.

Pada akhir talk show, Ibu Nyai Ida juga berharap kepada seluruh santriwati, bahwa jangan cepat puas dengan segala yang telah diperolah, karena perjalanan menimba ilmu melalui pendidikan maupun pengalamanan masih panjang, supaya kelak ketika keluar dari pesantren para santri menjadi produk yang siap pakai, ibarat sprei kasur kita bisa menggunakannya langsung tanpa harus menjahitnya terlebih dahulu. Maka istiqomah serta sabar mengarungi pencarian ilmu di pondok pesantren adalah kunci utama agar kelak lahir Sri Kandi – Sri Kandi dari Komplek R2.

Jaya Bu Nyai Ida, Jaya Komplek R2 !

(Hansip, R2)

Upacara HUT  RI ke-73, Abah Uzi: Kemerdekaan Ini  Harus Benar-Benar  Kita  Syukuri!

Doc : @qomar_almuna

Krapyak (18/08/2018)- Dalam  rangka  memperingati  Hari  Kemerdekaan  Indonesia yang  ke-73, Pondok Pesantren Al-munawwir Krapyak, Yogyakarta mengerahkan seluruh santrinya untuk mengikuti upacara bendera. Bertempat di halaman masjid, upacara yang berlangung khidmat sejak 08.15 pagi, juga dihadiri oleh para pengasuh dari berbagai komplek, termasuk di antaranya Romo KH. Najib Abdul Qodir Munawwir.

Hadir sebagai pembina upacara yakni KH. Fairuzzi Afiq pengasuh komplek Nurussalam. Dalam amanatnya, Abah uzi—beliau biasa dipanggil, mengapresiasi semangat  para santrinya untuk mengikuti upacara HUT RI ini. Beliau menyampaikan, bahwa kemedekaan yang kita  rasakan sekarang  ini bukanlah hadiah maupun belas kasih penjajah. 350 tahun bergerilya melawan Belanda ditambah 3,5 tahun melawan Jepang, bukanlah waktu yang singkat.

“Kemerdekaan yang kita kenyam ini, bukan sebuah hadiah. Melainkan karena perjuangan panjang seluruh  bangsa Indonesia”, Tegas beliau.

Abah uzi juga mengajak kita merenungkan kembali sepak terjang dan juang para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Meskipun hidup dalam tekanan  dan  serba kekurangan, namun semangat mereka tidak pernah putus. Mereka tetap bergerilya.

Baca Juga : Al Munawwir Helat Upacara Kemerdekaan Republik Indonesia

Selain itu, beliau juga menyampaikan bahwasannya banyak uswah dan hikmah yang dapat kita ambil melalui peristiwa kemerdekaan ini. Dalam bingkai agama, banyak pejuang kemerdekaan merupakan umat Islam, mulai dari santri, kiai, habaib semua turut berjuang tanpa mengenal kata menyerah.

Perjuangan mereka bukan hanya  sekadar dalam medan perang, melainkan juga secara spiritual, yakni bermunajah kepada Allah SWT. Salah satu hasilnya yaitu penentuan hari proklamasi yakni Jum’at, 17 Agustus 1945 yang juga bertepatan pada bulan Ramadan. Jadi sudah pasti, bahwasannya kemerdekaan ini adalah  berkah rahmat Allah SWT  seperti  yang  tertuang  dalam pembukaan  UUD 1945.

“Ketika kekuatan sederhana dari bambu  runcing dapat mengalahkan kekuatan modern dari meriam, bom, dan laras, ini betul-betul rahmat Allah SWT. Maka, kemerdekaan ini harus benar-benar kita syukuri!”, tutur beliau.

Baca Juga : Jelang HUT RI, Pondok Krapyak Gelar Diskusi “ Membedah Kiprah Kyai dan Santri Sebagai Benteng NKRI”

Pada penghujung amanatnya, Abah Uzi juga mengajak seluruh peserta upacara untuk bersinergi bersama menjaga dan merawat kemerdekaan ini dari gangguan dan ancaman penjajah-penjajah lainnya. Menebarkan Ukhuwah Islamiyah dan menumbuhkan rasa bangga terhadap bangsa ini, agar kerukunan dalam berbangsa dan bernegara  dapat  tercapai.

“Kita harus bangga  terhadap Indonesia, bangga terhadap lambang negara, dasar negara, terlebih kepada Bhineka Tunggal Ika yang  telah membingkai keberagaman di Indonesia, meski berbeda-beda namun tetap satu jua”, pungkas Beliau.

Suasana semakin khidmat, saat seluruh peserta upacara menyanyikan lagu nasional “17 Agustus 45” dan “Tanah Airku”. Tak sedikit peserta upacara yang tak kuasa menahan haru.

Sekitar pukul 09.00 rangkaian upacara selesai dan ditutup dengan doa bersama dipimpin oleh KH.R. Najib Abdul Qodir Munawwir. (Nur Afifi)

Al Munawwir Helat Upacara Kemerdekaan Republik Indonesia

Doc @almunawwir_com

KRAPYAK –Upacara Kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 dihelat di Pondok Pesantren Al Munawwir. Seluruh santri berbaris rapih untuk menyukseskan sekaligus menyemarakkan upacara sakral tersebut.

Upacara ini merupakan sebagian wujud dari rasa syukur para santri atas kemerdekaan Republik Indonesia yang dijajah selama 350 tahun dengan perlawanan penuh.

Selaku pembina upacara dalam kesempatan kali ini adalah KH Fairuzi Afiq Dalhar. Pidato amanah disampaikan dengan lugas menyinggung perjuangan kiai dan ulama dalam memerdekakan bangsa Indonesia.

Baca Juga : Jelang HUT RI, Pondok Krapyak Gelar Diskusi “ Membedah Kiprah Kyai dan Santri Sebagai Benteng NKRI”

“Perlu diketahui, para ulama, kiai, dan pejuang telah berusaha keras dalam memerdekakan bangsa ini. Mereka bersikukuh untuk merebut kedaulatan bangsa dari para penjajah; Portugis, Belanda, Inggris, dan lalu Jepang. Hingga pada saatnya kemerdekaan itu diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 tepat di hari Jum’at,” tukas Abah Uzi.

Yang menambah keseruan dari upacara kali ini, selain menyanyikan lagu Indonesia Raya dan beberapa lagu wajib lainnya, ternyata “Yaa lal Wathon Hubbul Wathon Minal Iman” juga dikumandangkan oleh para kiai dan santri.  

Yaa lal Wathon sendiri merupakan hymne perjuangan nahdliyin dalam memerjuangkan Indonesia. Lirik dari lagu ini diciptakan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah.

Upacara lantas ditutup dengan doa yang disampaikan oleh KH Najib Abdul Qodir. (aq)

Jelang HUT RI, Pondok Krapyak Gelar Diskusi “ Membedah Kiprah Kyai dan Santri Sebagai Benteng NKRI”

Doc. NurAfifa

KRAPYAK – Forum Komunikasi Mahasantri Pondok pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum kembali menggelar diskusi rutin  bulanan bertema “Membedah Kiprah Kyai dan Santri sebagai Benteng NKRI”. Acara yang tebuka untuk umum ini digelar di komplek H Yayasan Ali Maksum pada  Ahad (12/08/2018).

Pukul  13.45 WIB  acara  dibuka dengan  doa  bersama. Setelah itu, seluruh  hadirin berdiri menyanyikan  lagu Indonesia Raya  dengan  khidmat. Hadir sebagai narasumber yakni KH Abdul Muhaimin  dan KH Hilmy Muhammad.

Pak Abdul, sapaan KH Abdul Muhaimin merupakan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat Kotagede sekaligus alumni Krapyak, merasa sangat berbahagia dapat terlibat dalam diskusi ini.

“Bagi saya, tidak  ada  kehormatan yang lebih disyukuri  melainkan kehormatan karena diundang oleh almamater  sendiri. Tidak  ada kenikmatan  yang lebih membanggakan melainkan berada pada forum-forum diskusi bersama alumni” ujarnya sebelum menyampaikan materi. Kyai yang juga aktif pada berbagai forum sosial ini, menuturkan pentingnya diskusi semacam ini agar daya pengetahuan dan pemikiran  santri semakin kritis.

Dalam materinya, beliau  menjelaskan bahwasanya dalam kehidupan pesantren, terdapat proses  yang belum tentu atau bahkan tidak ditemukan pada pendidikan formal yaitu transfer knowledge, transfer value, dan transfer spiritual antara kyai dan santri, sehingga kehidupan  di pesantren mampu membentuk visi dan misi Santri.  

Baca Juga : Launching Rangkaian Agenda Hari Santri 2018, Kemenag Sebut Santri “Pionir Perdamaian”

Oleh karenanya, Santri selalu memiliki kapasitas untuk menghadapi dinamika dan romantika kehidupan  pada kondisi yang sangat anomali. “Kyai itu bapak kita, yang begitu egaliter dalam mendidik santrinya”, terang beliau.

Selain itu, hadirin juga diajak untuk menelisik kembali kehidupan pesantren zaman dulu yang sangat tradisional, sederhana, dan  eksotik. Meski begitu, sejak zaman dulu, pesantren  telah memiliki kontribusi nyata  bagi NKRI  dalam memperjuangkan  dan mempertahankan kemerdekanan, meski di atas kertas sejarah tidak menulisnya.

Doc. Nurafifa

Beliau juga berpesan, agar santri sekarang tidak hanya sebagai gula-gula, santri tidak boleh hanya terjebak kepada fenomena halal haram. “Santri jangan terbuai dengan sejarah  cemerlang masa lampau, karena tantangan masa depan akan lebih kompleks”, tegas beliau.

Pada kesempatan yang sama, Pak Hilmy sapaan KH Hilmy muhammad menyoroti posisi santri yang saat ini semakin tergerus. Sama halnya dengan Pak Abdul, pak Hilmy juga mengajak hadirin untuk mengingat kembali peran kyai dan santri pada zaman perjuangan merebut kemerdekaan dan setelahnya. Bahwa santri telah melang-lang buana di berbagai posisi, mulai dari medan perang, politik, sosial budaya, dll.  Beliau juga berpesan agar para santri tidak berpandangan sempit. Terlebih dalam bernegara, santri harus turut berkontribusi ngurusi negara sebagai bentuk cintanya  terhadap NKRI, Hubbul wathon minal iman.

Baca Juga : Membendung Paham Radikal, Sahal : Santri Perlu Formulasi Jitu

“Santri tidak boleh membatasi diri hanya di dalam pesantren. Kalau bisa jadi tentara, jadilah! Bisa jadi presiden, menteri, gubernur, jadilah! Jangan sampai umat Islam semakin terpinggir” ,tutur beliau.

Usai penyampaian materi, acara  dilanjut dengan sesi tanya jawab antar narasumber  dan audiens. Acara  selesai dan ditutup dengan  doa sekitar  15.45 WIB. (Nur  Afifi/Azza Awani)

Membendung Paham Radikal, Sahal : Santri Perlu Formulasi Jitu

Foto @den_tamyiz

Jakarta – Pembacaan terhadap konten-konten sensitif beralur sengit. Banyaknya narasi radikalisme dan terorisme yang menggelembung di media sosial melahirkan pemahaman keagamaan yang rentan terhadap kultur keindonesiaan.

Sebagai bangsa yang berbudi luhur dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban dalam wujud toleransi dan tenggang rasa terhadap sesama, perlahan mulai digerogoti oleh paham radikalisme keagaamaan.

Gejala itu yang menjadi pemantik diskusi dalam agenda “Kopdar Santrinet Nusantara” yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia di Jakarta, Sabtu (11/08/18).

“Pengarus-utamaan moderasi Islam itu sangat perlu” ujar Akhmad Sahal. “Selain semakin menggelembungnya narasi Islam radikal, Sahal melanjutkan, hingga menggerus nilai-nilai keindonesiaan, moderasi Islam perlu ditingkatkan intensitasnya di media sosial dalam ikhtiar mempertahankan dan melestarikan ”. imbuh Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika Serikat tersebut.

Karena itu, Sahal berpendapat hal yang harus diperhatikan sebelum benar-benar terjun dalam pertarungan arus informasi radikal ini adalah dengan memperhatikan, pertama, metode dan teknis dalam bermedia, kedua, diseminasi, tidak mendakwah pada orang yang sudah beriman atau orang yang sudah masuk dalam lingkaran kita. Ketiga, mengetahui latar belakang serta arah gerakan lawan. Keempat, membuat narasi besar dalam mempertahankan serta mengarus-utamakan moderasi Islam. (afqo)

Acara yang dihadiri oleh aktivis media sosial seluruh pesantren di Indonesia itu diselenggarakan oleh Kemenag dalam rangka Launching Hari Santri 2018 pada 22 Oktober mendatang. (afqo)      

Launching Rangkaian Agenda Hari Santri 2018, Kemenag Sebut Santri “Pionir Perdamaian”.

Foto @aisnusantara

Jakarta – Semenjak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapakan Hari Santri melalui Keppres Nomor 22 Tahun 2015, Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren senantiasa memperingati hari bersejarah yang ditetapkan pada 22 Oktober itu.

Tanggal ini merujuk pada klausul “Resolusi Jihad” yang berisi fatwa kefarduan berjihad demi melahirkan peristiwa heroic 10 Nopember 1945 yang kini mashur diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Seperti peringatan Hari Santri pada 2016 dan 2017, isu kepesantrenan dan keindonesiaan menjadi idiom prioritas, kini Kemenag mengusung tema “Bersama Santri Damailah Negeri”. Isu perdamaian diangkat berdasarkan sengkarut persoalan yang dialami bangsa ini, seperti maraknya hoaks, ujaran kebencian, propaganda kekerasan, sampai terorisme.

Baca Juga : Melihat Wajah Islam Moderat Indonesia

Hari santri tahun ini merupakan momentum dalam usaha mempertegas peran santri dalam tanggung jawabnya sebagai ‘pionir perdamaian’ yang berorientasi pada spirit moderasi Islam di Indonesia.

“Karatker pesantren yang moderat, toleran, tak diragukan rasa nasiolismenya, diharapkan para santri vokal untuk mengarus-utamakan moderasi Islam.” Ujar Prof. Dr. Kamaruddin Amin.

“Sekali lagi, tema ini mempertegas tugas santri, yang dalam konteks ini ada dua hal: pertama, rekognisi santri terhadap kedaulatan negara. Kedua, bentuk tanggung jawab yang besar bagi kaum santri dalam rangka merawat, mempertahankan, dan menjawab tantangan moderasi Islam di masa depan.” imbuh KH. Lukman Hakim Saifuddin di Kantor Kemenag, Jakarta Pusat, Jumat (10/08/18).

Foto @aisnusantara 

Untuk tema, logo dan rangkaian kegiatan Hari Santri 2018 di-launching pada hari ini oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Kantor Kemenag. Pada sore harinya disusul Kopdar Akbar Santrinet Nusantara (terdiri dari Jaringan AIS Nusantara dan CSSMora) yang berlangsung pada 10-11 Agustus. Sehari berselang pada 12 Agustus dilanjutkan dengan acara Car Free Day dengan bersalawat bersama Sabyan Gambus di Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat.

Kemudian, Menteri Agama bersama Ulil Abshar Abdallah dan salah satu budayawan akan mengisi acara PesanTrend dalam balutan Kopdar Ngaji Ihya pada awal Septemeber di Jakarta. Menariknya, kopdar akan diselenggarkan di luar pesantren dan membincang seputar moderasi Islam, gerakan cinta damai, anti hoaks dan ujaran kebencian menurut kitab kuning.

Baca Juga : Refleksi Kemerdekaan : “Merah Putih Darah Santri”

Sementara tanggal 1-7 Oktober, berlangsung Perkemahan Pramuka Santri Nusantara (PPSN) di Bumi Perkemahan Abdurrahman Sayuti-Musa, Muaro Jambi. Kegiatan ini merupakan kontestasi pengembangan potensi dalam mengasah akhlak dengan metode interaktif berbasis keterampilan dan keuletan dalam gerakan pramuka santri dari seluruh Indonesia.

Yang cukup akan menarik perhatian dan memantik pengembangan intelektualitas para santri adalah Muktamar Pemikiran Santri Nusantara akan digelar dengan menampilkan kesenian santri, pembacaan puisi kiai, nyai, santri, dan budayawan lalu akan dibuka juga Pameran Karya Pesantren dan Pegon Exhibition yang berisi pameran kitab-kitab berbahasa lokal yang ditulis oleh ulama nusantara.

Sebagai pemungkas Hari Santri 2018 adalah malam puncak yang bertajuk “SantriVersary”. Yang rencananya akan dihadiri oleh Presiden Jokowi. Acara ini akan dimeriahkan dengan renungan Hari Santri bersama Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, tausyiah kebangsaan oleh Habib Jindan bin Novel bin Jindan dan digembirakan oleh penampilan Sabyan Gambus dan Orkestra Santri di Bandung Jawa Barat. (afqo)         

Wisuda Salafiyah V, Bu Nyai Ida Fatimah : Kita Harus Tetap Istiqomah Menjadi Santri

Foto Doc. R2

Pada haflah imtihan Madrasah Salafiyah V, Ibu Nyai Ida memberikan ucapan selamat kepada ketiga belas santrinya yang diwisuda malam itu, Sabtu 04/08/18. Kepada para wisudawati, Ibu memberikan pesan dan harapan khusus, agar bersedia dengan ikhlas membantu mengabdi di pondok.

Beliau juga berpesan supaya santri-santrinya tidak mudah puas diri dalam menuntut ilmu, terlebih  mengesampingkan pendidikan di pondok di atas pendidikan formal yang sedang dijalani.

 “Meskipun sudah S1, S2, maupun S3 kita harus tetap istiqomah sebagai seorang santri. Ibu tentu ingin melihat kalian sukses, melihat anak-anakku rajin ngaji dan sholat berjamaah”, tutur  beliau.

Di penghujung acara Ust. Abdul Jalil Muhammad dalam mau’idhoh hasanahnya berpesan;

“Sebagaimana musyar ilaih yang menempati tiga kedudukan (na’at, bayan, badal), para santri juga menempati tiga kedudukan; na’at (manut yai); bayan (pengamalan dan sharing ilmu pada diri sendiri maupun sesama); badal (penerus dan pengganti perjuangan pendahulu  di  daerah masing-masing)”.

Sekitar  pukul 22.50 WIB seluruh  rangkaian acara selesai dan ditutup dengan doa bersama. [Nur Afifi]

Semarak  Wisuda  Madrasah  Salafiyah  V

Krapyak – Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek R2 menggelar acara wisuda dan penerimaan rapor santri Madrasah  Salafiyah V Tahun Ajaran 1438-1439 H pada Sabtu, 04/08/2018.

Acara tahunan ini begitu dinanti-nantikan oleh semua santri, khususnya kelas IV yang akan diwisuda. Begitu juga santri kelas I’dad- III yang menerima rapor selama setahun belajar di Madrasah Salafiyah V.

Pada tahun ini, 13 santriwati kelas IV  berhasil menuntaskan pendidikan diniyahnya.

Acara berlangsung khidmat di Aula G Pondok Pesantren Al-Munawwir ini dihadiri oleh seluruh santri komplek R2, Ibu Nyai Ida Fatimah Zainal Abidin M.S.I. selaku pengasuh, dan tamu undangan dari jajaran asatidz, serta perwakilan santri putri komplek lain.

Lantunan sholawat Maulid Adz-dziba’iy yang dibacakan oleh grup Hadroh Ar-Rahman mengawali rangkaian acara. Acara dimulai sekitar pukul 20.15 WIB dengan pembacaan surah al-Fatihah, dilanjutkan pembacaan ayat suci Alquran oleh perwakilan santriwati dan kemudian sambutan-sambutan.

Naila Latifatul Lu’lu’ah sebagai perwakilan wisudawati sekaligus Lurah Pondok Komplek R2 dalam sambutannya, menyampaikan ucapan terima kasih sekaligus permohonan maaf kepada Ibu Nyai Ida dan Para Asatidz/ah yang telah dengan sabar dan ikhlas membimbing semua santri dalam menuntut ilmu di Madrasah Salafiyah V.

Mbak Naila, sapaan akrabnya, juga memberikan ucapan selamat kepada semua santri khususnya wisudawati yang telah menyelesaikan pendidikan diniyahnya dengan baik berkat keistoqomahannya. “Semoga ilmu yang didapat di Madrasah Salafiyah V Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak ini, menjadi ilmu yang berkah, bermanfaat fi-ddiny waddunya hattal akhirah” pungkasnya mengakhiri sambutan.

Suasana haru dan bahagia menyelimuti proses pengalungan samir dan penyerahan ijazah yang dilakukan oleh Ibu Nyai Ida kepada masing-masing wisudawati. Gelar Wisudawati terbaik pun diraih oleh Hida Tamimatur Rohmah Binti Fahrul Umam. Santriwati asal Jambi yang juga tercatat sebagai mahasiswi semester VII Prodi Ilmu Alquran  dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan kalijaga Yogyakarta. Penghargaan diserahkan secara langsung oleh Ibu Nyai Ida yang juga merupakan Mudir Madrasah  Salafiyah V.

Adapun kedua belas wisudawati lainnya yaitu Nurmilla Ulfa Rukmana, S.pd (Sleman); Siti Nur Hidayanti (Cilacap); Afrida  Zulia  Fatimah S.pd (Temanggung); Shofura  Mufidah Azmiya (Magetan); Ade Maryana, S.pd (Brebes); Chaula Cholili  Sofia  (Rembang); Naila  Latifatul Lu’lu’ah  (Blora); Aulia Dwi Rahmanda (Kediri); Ade Putri Wulandari, S.pd (Bantul); Nurul Hikmah (Batang); Siti Maisah, S.Hum (Jambi); Fatkhul Ula Rohmawati, S.TP (Magetan). 

Acara dilanjutkan foto bersama dan penyerahan kenang-kenangan dari para wisudawati kepada Ibu Nyai Ida. Suasana bahagia sekaligus haru menyelimuti seluruh isi ruangan. (Nur Afifi)