Meneliti Pesantren Krapyak, Miss Claire Hefner Kagum Potensi Diri Santri

Sumber Foto: @yayasan.alimaksum

Ruangan yang tak kuasa membendung deru suara itu terpaksa menyilakan godam palu dan timba jatuh dari pekerja bangunan untuk menyertai diskusi rutin bertajuk “Ngobrol Asyik dengan Miss Cantik” yang dihelat di aula komplek H Pondok Pesantren Ali Maksum, Jumat 27/07/2018.

Sementara Ms. Claire terlihat sangat menikmati suasana. Anak dari Prof. Robert W. Hefner itu terlihat nyaman dengan kepala berbalut jilbab, berpakaian serapi santri, dan benar dialah Miss Cantik. Ia membaur, dengan sesekali mata cemerlangnya mengamati wajah para santri. Menyejukkan.

Diskusi rutin yang digelar dan itu berjalan dengan asik. Perkenalan, bertukar ide dan pengalaman akademis, sampai cerita keseruan hidup di Yogyakarta menjadi serum penyemangat diskusi.

Dalam forum yang diikuti oleh santri-santri Pesantren Krapyak ini, peraih gelar Ph.D dari Emory University Atlanta dengan disertasi berjudul” Achieving Islam: Women, Piety, and Moral Education in Indonesian Muslim Boarding Schools” itu mencoba menjelaskan pengalaman hidup dan penelitiannya selama di Yogyakarta.

Baca Juga: Pengantar Sejarah Alquran (9): Penambahan Titik dan Harakat Pada Penulisan Alquran

“Sebelum tahun 1999 saya pernah bermukim di Yogyakarta, tepatnya di Jalan Kaliurang. Pada saat itu, saya lebih fokus pada pelancaran bahasa dan mendalami budaya Indonesia. Pasca itu, saya lebih sering ke Jogja, apa lagi dikala musim panas.” tutur Miss Claire dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih.

Selama dua puluh satu bulan (Oktober 2011-Juli 2013), Miss Claire meneliti bagaimana para remaja putri Muslim belajar dan terlibat dengan apa artinya menjadi saleh, terdidik, dan modern di Indonesia. Ia mengkomparasikan prestasi perempuan dan pengajaran moral di dua Pesantren, yaitu Pesantren Muallimaat Yogyakarta dan Pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta.

Kenapa memilih dua pesantren tersebut? kata Claire, karena kedua Pesantren tersebut merupakan pesantren unggulan dari dua Ormas Islam terbesar di dunia:  Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Baca Juga: Pengantar Sejarah Alquran (8): Kodifikasi Alquran di Masa Khalifah Usman bin Affan

Dalam penelitiannya, Miss Claire berargumen bahwa penentuan pribadi dan sosial dari kekhawatiran etis yang berpusat pada pemahaman diri dan aspirasi sosial – melibatkan interaksi halus dengan praktik di sekolah, jaringan sosial, biografi dan kepribadian, merepresentasikan pendidikan dan cara mereka bersosialisasi terhadap lingkungan modern di Indonesia.

“Dan lingkungan pesntren Krapyak maupun Muallimaat sanggup mengitersepsi modernitas Indonesia secara halus di lingkungan Pesantren dan perilaku mereka sehari-hari”, terang sosiolog dan antropolog tersebut

Interaksi inilah yang diteliti oleh Miss yang sering mengikuti majlis salawat Gus Kelik, dalam upaya untuk menyumbangkan pemahaman yang lebih beragam tentang pendidikan, etika, dan subjektivitas Islam.

Turut hadir dalam acara tersebut yakni Bu Nyai Maya, Kiai Nilzam, dan Kiai Hilmy Muhammad sebagai dewan pengasuh Pesantren Krapyak. (rq)

Meneladani Akhlaq KH. Munawwir

KH. M. Munawwir selalu memilih awal waktu untuk menunaikan shalat, lengkap dengan shalat sunnah Rawatibnya. Shalat Witir beliau tunaikan 11 raka’at dengan hafalan al-Quran sebagai bacaannya. Begitu juga dalam mudawamah beliau terhadap shalat Isyroq (setelah terbit matahari), shalat Dhuha dan shalat Tahajjud.

Beliau mewiridkan al-Quran tiap ba’da Ashar dan ba’da Shubuh. Walau sudah hafal, seringkali beliau tetap menggunakan Mushaf. Bahkan kemanapun beliau bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara, wirid al-Quran tetap terjaga. Beliau mengkhatamkan al-Quran sekali tiap satu minggu, yakni pada hari Kamis sore. Demikianlah beliau mewiridkan al-Quran semenjak berusia 15 tahun.

Waktu siang beliau lewatkan dengan mengajarkan al-Quran, dan di waktu senggang beliau masuk ke dalam kamar khusus (dahulu terletak di sebelah utara Masjid) untuk bertawajjuh kepada Allah Swt. Sedangkan di malam hari beliau istirahat secara bergilir di antara istri-istri dengan demikian adilnya.

Beliau memiliki 5 orang istri, adapun istri kelima, dinikahi setelah wafatnya istri pertama, yakni;
1. Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
2. Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
3. Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
4. Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur)
5. Nyai Khadijah (Kanggotan – Yogyakarta)

Begitulah KH. M. Munawwir hidup beserta keluarga di tengah ketenangan, kerukunan, istiqamah dan wibawa, dengan berkah al-Quran al-Karim.

Orang hafal al-Quran (Hafidz) yang beliau akui adalah orang yang bertakwa kepada Allah, dan shalat Tarawih dengan hafalan al-Quran sebagai bacaannya.

Begitu besar pengagungan beliau terhadap al-Quran, sampai-sampai undangan Haflah Khatmil Quran hanya beliau sampaikan kepada mereka yang jika memegang Mushaf al-Quran selalu dalam keadaan suci dari hadats.

Pernah terjadi seorang santri asal Kotagede dengan sengaja memegang Mushaf al-Quran dalam keadaan hadats. Setelah diusut oleh KH. M. Munawwir, akhirnya santri tersebut mengakuinya. Atas pengakuannya, si santri dita’zir, kemudian dikeluarkan dari Pesantren dalam keadaan sudah menghafalkan al-Quran 23,5 juz.

Setiap setengah bulan sekali beliau memotong rambut. Juga tak pernah diketahui membuka tutup kepala, selalu tertutup, baik itu dengan kopyah atau sorban maupun keduanya. Menggunting kuku selalu beliau lakukan tiap hari Jum’at.

Pakaian beliau sederhana namun sempurna untuk melakukan ibadah, rapi dan bersetrika. Jubah, sarung, sorban, kopyah dan tasbih selalu tersedia. Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu beliau kenakan ketika menghadiri acara-acara resmi Kraton. Untuk bepergian, beliau sering mengenakan baju jas hitam, sorban, dan sarung.

Beliau tidak suka makan sampai kenyang, terlebih lagi di bulan Ramadhan, yakni cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan. Jika ada pemberian bantuan dari orang, beliau pergunakan sesuai dengan tujuan pemberinya. Jika ada kelebihan, maka akan dikembalikan lagi kepada pemberinya.

Walau beliau termasuk dalam Abdi Dalem (anggota dalam) Kraton, namun beliau tidak suka mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Sebagai hiburan, beliau senang sekali mendengarkan lantunan shalawat-shalawat, Burdah dan tentunya Tilawatil Quran.

Para santri beliau perintahkan untuk berziarah di Pemakaman Dongkelan tiap Kamis sore. Tiap berziarah, beliau membaca surat Yasin dan Tahlil. Apabila terjadi suatu peristiwa yang menyangkut ummat pada umumnya, beliau mengumpulkan semua santri untuk bersama-sama tawajjuh dan memanjatkan do’a kehadirat Allah, biasanya dengan membaca shalawat Nariyyah 4.444 kali atau surat Yasin 41 kali.

Selain mengasuh santri, beliau tak lantas meninggalkan tugas sebagai kepala rumah tangga. Tiap ba’da Shubuh, beliau mengajar al-Quran kepada segenap keluarga dan pembantu rumah tangga. Nafkah dari beliau, baik untuk istri-istri maupun anak-anak, selalu cukup menurut kebutuhan masing-masing. Suasana keluarga senantiasa tenang, tenteram, rukun, dan tidak sembarang orang keluar-masuk rumah selain atas ijin dan perkenan dari beliau.

Hampir-hampir beliau tak pernah marah kepada santrinya, selain dalam hal yang mengharuskannya. Pernah suatu waktu beliau tiduran di muka kamar santri, tiba-tiba bantal yang beliau pakai diambil secara tiba-tiba oleh seorang santri, sampai terdengar suara kepala beliau mengenai lantai. Lantas beliau memanggil santri yang mengambil bantal tadi seraya berkata: “Nak… saya pinjam bantalmu, karena bantal yang saya pakai baru saja diambil oleh seorang santri.”

Seringkali beliau memberikan sangu kepada santri yang mohon ijin pulang ke kampung halamannya, dan sangat memperhatikan kehidupan santri-santrinya. Para santri pun dianjurkan untuk bertamasya ke luar pesantren, biasanya sekali tiap setengah bulan, sebagai pelepas penat.

Sebagai layaknya seorang ulama, KH. M. Munawwir juga akrab dan sering mendapat kunjungan dari para ulama lain, diantaranya;
1) Murid-murid Syaikh Yusuf Hajar dari Madinah
2) KH. Sa’id (Gedongan – Cirebon)
3) KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
4) KH. R. Asnawi (Kudus)
5) KH. Manshur (Popongan)
6) KH. Siroj (Payaman – Magelang)
7) KH. Dalhar (Watucongol – Magelang)
8) KH. Ma’shum (Lasem)
9) KH. R. Adnan (Solo)
10) KH. Dimyati (Tremas – Pacitan)
11) KH. Idris (Jamsaren – Solo)
12) KH. Abbas (Buntet – Cirebon)
13) KH. Siroj (Gedongan – Cirebon)
14) KH. Harun (Kempek – Cirebon)
15) KH. Muhammad (Tegalgubuk – Cirebon)
16) Para Kyai dari Jombang dan Pare
17) Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan IX
18) B.R.T. Suronegoro
19) KH. Asy’ari (Wonosobo) yang merupakan teman semasa belajar di Tanah Suci.

Selain dikunjungi, beliau juga kerapkali mengadakan kunjungan balasan terhadap para ulama yang lain, seperti kepada KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Ahmad Dahlan (Yogyakarta), maupun yang lainnya.

Beliau juga mendapat kepercayaan dari pihak Kraton untuk menjadi anggota JEMANGAH, yakni jama’ah shalat tetap yang terdiri dari 41 orang ulama, dimaksudkan sebagai penolak bencana Negara.

Pengantar Sejarah Alquran (9): Penambahan Titik dan Harakat Pada Penulisan Alquran

#Pengantar_Sejarah_Alquran (9)
Oleh: Ust. Abdul Jalila Muhammad, M.A

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Alquran di masa khalifah Usman masih belum atau tanpa titik dan harakat. Fakta itu menimbulkan pertanyaan, apakah para sahabat belum mengenal titik, harakat atau tanda-tanda lain dalam penulisan kata dan kalimat?. Keraguan itu terjawab dari beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa sahabat sudah mengenal al-Naqth dalam penulisan. Akan tetapi tidak ada penjelasan detail mengenai hal ini. Misalnya, diriwayatkan bahwa sahabat Ibnu Umar tidak suka penulisan “al-naqth” pada mushaf. Begitu juga diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Jangan campurkan dalam penulisan Alquran/mushaf dari selain Alquran”.

Namun, para sahabat yang menolak menyertakan al-naqth bukan tanpa alasan. Para sahabat berpendapat jika menulis mushaf tanpa titik supaya dapat mencakup qira’at yang diriwayatkan dari Nabi.

Baca Juga: Pengantar Sejarah Alquran (7): Mushaf-Mushaf Sahabat Sebelum Kodifikasi Usman bin Affan

Adapun pembagian nuqath ada dua macam titik (Nuqath/Naqth) yaitu: Naqth al-I’rab dan Naqth al-I’jam. Yang dimaskud dengan naqth al-I’rab adalah titik sebagai simbol harakat (kita kenal sekarang dengan fathah, kasrah, dhammah), titik ini berfungsi untuk membedakan antar harakat akhir kata, seperti titik atas huruf untuk menunjukkan fathah, titik di bawah huruf untuk kasrah. 

Contoh Naqth al-I’rab

Sedangkan naqth al-I’jam adalah titik untuk membedakan antar huruf yang bentuk tulisannya sama. Seperti satu titik di bawah untuk huruf ba’, dua titik di atas untuk huruf ta’ dan seterusnya.

Contoh Naqth al-I’jam

Ziyad bin Abih (w. 673) merupakan seorang Jenderal Besar dan administrator dari  masa dinasti Umayyah meminta dari Abu al-Aswad al-Du’ali (w. 688) untuk membuatkan atau melakukan sesuatu dalam upaya menjaga bahasa Arab dan bacaan Alquran dari kesalahan. Amanah itu diterima dan Abu al-Aswad mulai melakukan sebuah usaha dengan menguji 30 orang dari kota Bashrah dan akhirnya memilih seorang dari kabilah Abd al-Qais, salah satu kabilah di Bashrah.

Abu al-Aswad membaca dan orang dari kabilah Abd al-Qais menulis titik dengan warna yang berbeda dengan tulisan mushaf. Titik satu di atas untuk fathah, titik satu di bawah untuk kasrah, titik satu di depan huruf untuk dhammah, dan dua titik untuk ghunnah. Semua titik ini hanya di akhir tiap kata saja. Ada yang berpendapat jika titik ini hanya di atas huruf yang musykil.

Baca Juga: Pengantar Sejarah Alquran (8): Kodifikasi Alquran di Masa Kholifah Usman bin Affan 

Ternyata penambahan naqth al-I’rab pada tulisan mushaf belum menyelesaikan masalah. Di masa al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi (w. 714), seorang gubernur kota Irak di masa kekhalifahan Umayyah, problem terkait bacaan Alquran semakin bertambah. Oleh karena itu, dia meminta dari Nashr bin Ashim al-Laitsi al-Kanani (w. 89 H) untuk mencari solusi. Nashr bin Ashim menulis titik-titik di atas semua huruf, sesuai dengan kaidah atau cara Abu al-Aswad.

Pada tahap selanjutnya, dan masih di masa al-Hajjaj bin Yusuf, tim yang terdiri dari Ashim bin Nashr, Yahya bin Ya’mur, dan al-Hasan al-Bashri melakukan beberapa tambahan lagi, yaitu: 1) Mereka akan menambah naqth al-I’jam. 2) Titik-titik akan ditulis dengan warna yang berbeda, 3) Titik-titik ini tidak lebih dari 3 titik, 4) Titik ini berbentuk sama dengan titik Abu al-Aswad.

Tahap selanjutnya, kemunculan titik membuat kreasi untuk kemudahan dalam membaca. Di beberapa daerah menggunakan warna-warni yang berbeda dalam menulis titik, seperti Madinah, Irak, Andalusia, dan yang lain.

Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 789), pengarang kitab al-‘Ain dan guru imam Sibaweh itu melihat bahwa mushaf yang ada di masanya sudah penuh dengan titik-titik yang berwarna-warni. Lalu dia memutuskan untuk membedakan antar bentuk atau penulisan naqth al-I’rab dan naqth al-I’jam. Ada 10 tanda yang ditambah oleh al-Khalil: Fathah, dhammah, kasrah, syaddah, sukun, mad, hamzah wasahl/shilah, hamzah, raum, dan isymam sebagaimana kita kenal sekarang.

Wallahu A’lam

Sekilas Tentang Al-Marhum KH. R. Abdul Qodir Munawwir Krapyak Yogyakarta

“Saya mengaji Fatihah dengan Mbah Arwani satu minggu selesai, tetapi dengan Mbah Qodir satu bulan, masyaallah. Kadang hati setengah jengkel (ngaji nggak tambah-tambah), tetapi anehnya setiap beliau keluar dari pintu tengah, siap mengajar anak-anak pasti yang saya tatap adalah wajah yang ceria, senyum yang khas.. plengeeh.. seakan hati saya disihir, lenyap rasa gundah saya. Saya jadi semangat untuk mengaji.”

– KH. Munawir Abdul Fatah (Anggota MUI Provinsi DIY) –

Mengemban Amanah

KH. R. Abdul Qodir Munawwir, atau Romo Kyai Qodir, dilahirkan pada Sabtu Legi 11 Dzulqo’dah 1338 H bertepatan dengan 24 Juli 1919 M. Beliau adalah salah satu putra al-maghfur lah KH Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad (muassis Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta) dari istri pertama, Ny. R. Ayu Mursyidah, yang berasal dari keluarga Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Setelah KH. M. Munawwir wafat (1942 M), Romo Kyai Qodir meneruskan estafet tanggung jawab ayahandanya untuk mengasuh pesantren bersama sang kakak (KH. R. Abdullah Afandi Munawwir) dan adik iparnya (KH. Ali Ma’shum) dalam usia yang relatif muda, yakni 18 tahun. Meskipun usia beliau masih relatif muda namun apa yang telah beliau dapatkan dari guru-guru beliau waktu itu sudah cukup sebagai bekal untuk meneruskan amanah berupa pesantren, khususnya dalam hal pengajian Al-Qur’an. Di antara guru-guru beliau ialah sang ayah sendiri, KH. M. Munawwir, dan KH. Dalhar Watucongol.

Di kemudian hari, mengenai hal ini, dikisahkan oleh KH. Umar Abdurrahman (Bantul) ketika mendampingi beliau silaturrahim ke kediaman almarhum KH. Abdul Hamid Pasuruan. Saat itu, menurut penuturan Kyai Umar, Kyai Hamid sempat mengatakan bahwa Kyai Abdul Qodir adalah sosok seorang putra yang sangat mengerti dan memahami keberadaan orangtuanya. Yakni mampu menyerap ilmu dari orangtuanya, mengabulkan apa yang menjadi harapan orangtuanya, dan mampu menggantikan serta meneruskan perjuangan orangtuanya. Dan satu lagi; mampu meneladani sifat-sifat serta kepribadian orangtuanya yang mulia.

Teman-teman seangkatan Romo Kyai Qodir sewaktu mengaji Al-Qur’an kepada ayahanda al-maghfur lah KH. M. Munawwir antara lain; KH. Arwani Amin Kudus, KH. Umar Abdul Mannan Mangkuyudan, KH. Umar Harun Kempek, KH. Ma’sum Gedongan, KH. Murtadho Buntet, KH. Badawi Kaliwungu, KH. Abdul Hamid Hasbulloh Tambakberas, KH. Ahyad Blitar, KH. Suhaimi Bumiayu, KH Zuhdi Kertosono, dan banyak lagi.

Romo Kyai Qodir menikah pada usia 25 tahun dengan Ny. Hj. Salimah Nawawi (Jejeran), diakadkan oleh al-maghfur lah KH. Muhammad Manshur (Popongan) yang merupakan mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyyah. Beliau dikaruniai 8 putra-putri, yakni; Fatimah (wafat waktu kecil), Nur Jihan (wafat waktu kecil), Nur Widodo (wafat waktu kecil), Ny. Hj. Ummi Salamah, KH. R. Muhammad Najib, Ny. Hj. Munawwaroh, KH. R. Abdul Hamid, dan KH. R. Abdul Hafidz.

Filosofi “Layang-layang”

Dalam periode Romo Kyai Qodir, pengajian Al-Qur’an diselenggarakan dengan menggunakan metode seperti yang ada pada zaman KH. M. Munawwir. Santri yang ingin mengikuti pengajian tahaffudz Al-Qur’an (bil hifdzi / bil ghoib) disyaratkan terlebih dahulu membacanya di hadapan Kyai dengan melihat mushaf (bin nadzri) dengan baik dan benar. Untuk mencapai puncak keberhasilan dalam menghapal Al-Qur’an, yakni adanya pengakuan dari Romo Kyai Qodir, tidaklah mudah. Dalam hal ini beliau menerapkan standar yang cukup ideal. Santri yang disahkan dan beliau ijinkan mengikuti prosesi wisuda Khotmil Qur’an adalah santri yang sudah mampu membaca 30 juz dengan sempurna dalam posisi sebagai imam tunggal dalam shalat tarawih yang dilaksanakan selama 20 malam pada bulan Ramadhan. Hal ini merupakan ikhtiar beliau untuk mencetak penghafal Al-Qur’an yang tangguh.

Untuk mengetahui sejauh mana kelancaran hapalan santri, beliau biasa melakukan ujian mendadak. Di waktu dan hari yang tidak terduga, para santri diharuskan selalu siap menghadap beliau yang terkadang tidak mengajar mengaji seperti biasanya, yakni para santri menyetorkan hapalannya. Tetapi, setelah tawassul Fatihah yang ditujukan kepada para guru dan para ahli silsilah sanad Al-Qur’an, beliau langsung membaca sebagian ayat atau satu ayat dari Al-Qur’an kemudian menunjuk salah satu santri untuk melanjutkannya. Hal ini beliau lakukan secara acak.

Beliau juga menerapkan program semacam ujian semester yang dilaksanakan pada bulan Rabi’ul Awwal dan Sya’ban menurut masing-masing juz yang sudah didapat dan disetorkan oleh para santri. Waktu itu, secara keseluruhan jumlah santri berkisar 70-80 orang yang dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 5 santri. Kalau beberapa juz yang sudah didapat ternyata tidak semuanya lancar, maka beliau memerintahkan untuk menyetorkan kembali beberapa juz yang belum lancar tersebut dan tidak diperkenankan menambahnya lagi.

Metode seperti ini dilandasi oleh filosofi “layang-layang” yang beliau terapkan. Seseorang yang hapalan Al-Qur’annya sempurna dan lancar diibaratkan sebagai layang-layang yang mampu terbang tinggi karena mendapat angin yang cukup. Jika benangnya diulur lagi, ia juga akan bertambah tinggi. Sebaliknya, jika yang tidak sempurna dan tidak lancar hapalannya ibarat layang-layang yang kurang angin, sehingga walaupun benangnya diulur, ia tetap tidak akan mampu mencapai ketinggian yang diharapkan. Artinya, jika hapalan sekian juz sudah mantap dan lancar, tidak masalah jika akan menambah hapalan lagi. Namun bila hapalan masih kacau, tidak akan sempurna jika ditambah-tambah terus.

Pembimbing Para Hamilul Qur’an

Romo Kyai Qodir merupakan sosok yang memiliki disiplin dan keistiqomahan yang tinggi. Hal ini terlihat dari berbagai aktivitas yang beliau lakukan setiap hari. Di mulai dari jam tiga dini hari, beliau bangun, kemudian membangunkan salah satu santri (Kyai Umar) yang waktu itu ikut ndalem untuk diajak shalat tahajjud. Setelah menunaikan shalat tahajjud, beliau membaca Al-Qur’an hingga menjelang shubuh, dilanjutkan dengan membangunkan para santri untuk menunaikan shalat shubuh berjama’ah. Dalam membangunkan para santri, beliau selalu didampingi oleh Kyai Umar dan Kyai Hasyim Syafi’i (Jejeran). Kyai Umar bertugas membawa lampu petromak sedangkan Kyai Hasyim bertugas membawakan ember berisi air untuk menyiram santri yang masih tidur.

Setelah selesai dzikir pagi, beliau mengajar Al-Qur’an kepada para santri secara bil ghaib. Sekitar jam tujuh pagi, pengajian selesai. Kemudian beliau bersantai sejenak, lalu melanjutkan mengajar Al-Qur’an kepada para santri putri yang datang dari komplek utara (Nurussalam). Sehabis Dzuhur, sekitar jam setengah dua siang, beliau melanjutkan kembali mengajar Al-Qur’an di masjid. Kali ini yang mengaji bersifat umum, ada yang menghapal (bil ghaib) dan ada yang tidak (bin nadzri), tidak hanya para santri tetapi juga masyarakat umum. Saai itu beliau didampingi dua asisten, yakni Kyai Ahmad Munawwir dan Kyai Zainuddin. Keduanya adalah adik beliau, satu ayah lain ibu.

Pengajian selesai sekitar jam setengah lima sore. Kemudian para santri menyiapkan diri untuk mengaji kitab di Madrasah Diniyyah. Sehabis Maghrib diterapkan program takror (mengulang hapalan) kepada para santri dengan model berpasangan, itupun tak terlepas dari pengawasan beliau. Setiap jam sembilan malam, beliau juga menyempatkan diri mengajarkan Qiro’ah Sab’iyyah, yakni ilmu tentang bacaan Al-Qur’an dan tata caranya menurut tujuh imam ahli qiro’ah, kepada beberapa santri tertentu.

Khusus pada bulan Ramadhan, pada setiap ba’da dzuhur sekitar jam setengah dua dan setelah shalat tarawih selama dua puluh hari beliau membaca Al-Qur’an secara tartil dan estafet bersama para santri sambil disiak oleh para santri lain secara keseluruhan sebanyak satu setengah juz dengan dua pebagian waktu; yakni siang hari tiga perempat juz dan malam hari juga tiga perempat juz. Di sela-sela membaca Al-Qur’an beliau menyempatkan memberikan penjelasan kepada para santri perihal bacaan-bacaan yang terkandung dalam Qiro’ah Sab’iyyah.

Dalam bepergian, di sela-sela waktu dan tempat yang tidak terduga, beliau sangat biasa mengkhatamkan Al-Qur’an. Pernah suatu hari, beliau didampingi Kyai Hasyim Syafi’i bepergian untuk berziarah di sekitar Bantul. Berangkat mulai ba’da Ashar, dimulai dari makam Dongkelan kemudian meluncur ke makam Sewu. Lalu beristirahat di kediaman kenalan beliau di Giriloyo pada sekitar jam sepuluh malam. Pagi harinya beliau melanjutkan perjalanan. Sesampainya di Gesikan, persis di musholla agak kecil, beliau mengajak berhenti untuk membaca Dzikir Tahlil dan doa Khotmil Qur’an. Baru setelah itu, beliau kembali ke Krapyak.

“Syim, bagi siapa saja yang hapalan Al-Qur’annya sudah lancar, dalam menjaga hapalannya (nderes) bisa dilakukan di manapun dia berada dan tidak harus sambil membaca dan duduk saja. Tetapi bisa dilakukan sesuai dengan keadaan, semisal sambil berjalan, rebahan, naik kendaraan, dan lain sebagainya.” pesan beliau kepada Kyai Hasyim sebelum meneruskan perjalanan menuju Krapyak.

Semasa hidup, di samping sehari-hari mengasuh pesantren, Romo Kyai Qodir juga mengisi pengajian di pelosok-pelosok kampung di Yogyakarta, termasuk sima’an rutin Ahad Pahing setiap bulan yang dilaksanakan secara bergilir dari satu tempat ke tempat lain di wilayah Bantul. Beliau juga aktif di Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, menjadi Penasehat Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz Pusat, serta menjadi Anggota Majlis Pentashih Al-Qur’an.

Saking sibuknya mengabdikan diri untuk para santri dan masyarakat, sampai-sampai beliau tidak memedulikan kesenangan duniawi secara mendalam. Apapun benda dan berapapun banyaknya harta, beliau tidak pernah menghitungnya. Namun setiap kebutuhan hidup keluarga beliau senantiasa tercukupi, bahkan istri beliau, Ny. Salimah Nawawi, selalu diperintahkan untuk mengambil sendiri berapapun banyaknya yang dibutuhkan tanpa harus sepengetahuan beliau.

Mengajar dengan Keteladanan

Diceritakan oleh KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus, Rembang), bahwa beliau mengaji Surat Al-Fatihah kepada Romo Kyai Qodir selama tiga bulan. Sampai-sampai beliau seakan sakit hati karena santri-santri lain sudah khatam tetapi beliau masih saja Al-Fatihah. Setelah diusut, ternyata waktu itu, sang ayah (KH. Bisri Mustofa) menitipkan beliau kepada Romo Kyai Qodir secara sungguh-sungguh.

“Kyai, hari ini saya titip anak saya kepada Kyai. Tolong ajari anak saya bagaimana caranya membaca Al-Fatihah yang baik dan benar. Tapi ingat Kyai, kalau nanti shalat anak saya sapai tidak diterima oleh Allah subhaanahu wa ta’ala lantaran fatihah yang Kyai ajarkan, saya akan tuntut Kyai nanti di Yaumil Hisab.” Ujar Kiai Bisri kepada Kyai Qodir.

Romo Kyai Qodir sangat memegang erat komitmen ini. Sehingga beliau benar-benar membimbing proses mengaji dan keseharian para santri dengan tegas dan contoh nyata berupa kedisiplinan, keistiqomahan, dan ketawadhu’an. Beliau seringkali ikut mengaji bersama para santri kepada santri beliau sendiri, membawa dan ngesahi (memberi makna gandul) kitabnya sendiri dalam pengajian kitab-kitab kuning. Tentunya, santri yang dimaksud telah mendapat mandat dari beliau dan dianggap sudah mumpuni dalam mengajarkan kitab, seperti KH. Abdul Mannan (Malang) yang mengajar kitab Tafsir Jalalain atau KH. Hasyim Yusuf (Nganjuk) yang mengajar kitab Fiqih Fathul Mu’in.

Setiap kali mendapat undangan dalam berbagai acara, di manapun tempatnya, beliau senantiasa menyempatkan waktu untuk menghadirinya. Terlebih-lebih kalau pihak yang mengundang beliau berasal dari keluarga yang tidak mampu, beliau prioritaskan untuk menghadirinya. Selain sangat menyayangi orang fakir, beliaupun sangat mencintai anak-anak yatim. Sebagaimana dikisahkan oleh KH. Abdullah Faqih (Temenggungan – Malang), ketika itu Kyai Faqih kecil beserta adiknya, Gus Najib, yang telah yatim, pertama kalinya tiba di Pesantren Al-Munawwir Krapyak untuk mengaji, didampingi sang ibu yang juga turut mengaji dan menetap di komplek utara.

Sesampainya mereka di depan gerbang pesantren, dan setelah ketiganya turun dari becak, nampak Romo Kyai Qodir berada di dekat gerbang bersiap menyambut mereka. Dengan rasa haru, sambil melambaikan tangan, beliau menyambut, “Ayo, ayo, mari ke sini anak-anakku, silakan, silakan..” Keduanya mencium tangan beliau dan beliaupun memeluk serta mengecup kening kedua anak yatim ini dengan penuh kasih sayang.

Adapun santri-santri yang pernah mengaji Al-Qur’an kepada beliau di antaranya adalah; KH. Ahmad Munawwir (adik) Krapyak, KH. Mufid Mas’ud (adik ipar) Sleman, KH. Nawawi Abdul Aziz (adik ipar) Ngrukem, K. Muhdi Tempel – Sleman, KH. Jawahir Sewon, KH. Ali Harun Sewon, KH. Umar Abdurrahman Bantul, KH. Bilal Kulonprogo, KH. Hasyim Syafi’i Jejeran, KH. Munawir Abdul Fatah Krapyak, Ny. Hj. Walidah Munawwir Ngrukem, KH. Shohib Demak, KH Shodiq Purworejo, KH. Ahmad Djablawi Klaten, KH. A. Mustofa Bisri Rembang, KH. Ahmad Husnan Pekalongan, KH. Abdullah Demak, KH. Munawwir Kebumen, KH. Ardani Mangkuyudan, KH. Ibnu Hajar Wonosobo, Ny. Hj. Shofiyah Syafi’i Purworejo, K. Munawwir Klaten, KH. Sofyan Nganjuk, KH. Syafi’i Abbas Banyuwangi, KH. Masduki Abdurrahman Jombang, KH. Abdul Mannan Malang, KH. Dahlan Basuni Surabaya, KH. Ridhwan Abdul Rozaq Kediri, KH. Abdullah Faqih Malang, KH. Ali Shodiq Tulungagung, KH. Umar Pare, KH. Musta’in Malang, KH. Yusuf Hasyim Nganjuk, KH. Muhtarom Sya’roni Blitar, KH. Ahyad Blitar, KH. Maftuh Afandi Ngawi, KH. Khoiruddin Pare, KH. ‘Ashim Ma’lum Tulungagung, KH. Misbah Ahmad Sidoarjo, KH. Misbah Zainuri Kediri, KH. Murod Sampang, KH. Sulthon Jombang, NY. Hj. Zuhriyyah Mundzir Kediri, Ny. Hj. Aminah Blitar, KH. Masduki Mahfudz Malang, KH. Thoyyib Ghozali Surabaya, KH. Manshur Sampang, KH. Rosyad Thoyyib Sampang, KH. Suhaib Syukur Pasuruan, KH. M. Umaerah Baqir Bekasi, KH. Amin Siraj Cirebon, KH. Syarif Husein Tasikmalaya, dan masih banyak lagi.

Khotmil Qur’an Terakhir

Dalam perjuangan dan pengabdian beliau terhadap keluarga, para santri, dan masyarakat, tidak terasa ternyata beliau terserang diabetes melitus yang mengakibatkan kesehatan beliau menurun. Meskipun beliau hanya mampu berbaring, pengajian Al-Qur’an tetap berlangsung seperti biasanya. Hingga pada akhirnya kondisi beliau betul-betul berubah drastis dan semakin parah, sehingga mengharuskan beliau dirawat di RS Panti Rapih.

Menurut Pak Mastur (Kretek – Bantul), Romo Kyai Qodir sebenarnya tidak berkenan dirawat di rumah sakit, begitu pula keluarga beliau. Dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, yakni wafat di ruah sakit. Namun setelah mendapat penjelasan tentang penyakit yang beliau derita dari dr. Yasin dan arahan dari KH. Ali Ma’shum, akhirnya beliau dan keluarga berubah pikiran.

“Perlu kalian semua ketahui, bahwa iman itu tidak terdapat di rumah sakit, tetapi iman itu ada di sini (Kyai Ali memegang dadanya). Sekian banyak orang yang datang ke masjid tetapi kenyataannya sekian banyak pula yang sesat di luar sana. Oleh karena itu, mari kita bawa serta Kyai Abdul Qodir ke rumah sakit sebagai sebuah ikhtiar kita selaku hamba Allah subhaanahu wa ta’ala dan bertawakkallah.” ujar Kiai Ali Ma’shum kepada segenap keluarga.

Saat-saat terakhir menjelang wafat, beliau masih sempat untuk sekali lagi dan terakhir kalinya mengkhatamkan Al-Qur’an 30 juz, dalam kondisi kesehatan yang makin kritis. Sampai pada akhirnya, dalam kondisi yang sangat berat, setengah sadar setengah tidak, sehabis membaca surat Al-Ikhlas, beliau bertanya kepada Kyai Hasyim,

“Syim, kalau setelah surat Al-Ikhlas itu kemudian seterusnya surat apa ya, Syim?”

“Setelah surat Al-Ikhlas seterusnya adalah surat Al-Falaq, kemudian surat An-Nas, Romo..” jawab Kyai Hasyim sambil sesenggukan, tak mampu membendung air matanya.

“Syim, tolong bantu aku menyelesaikannya ya, Syim..” pinta beliau.

“Inggih, Romo..” jawab Kyai Hasyim, kemudian dengan amat pelan disertai sesenggukan menuntun kalimat demi kalimat , ayat demi ayat dari surat Al-Falaq, An-Nas, Al-Fatihah, dan seterusnya sampai diakhiri dengan doa Khotmil Qur’an.

Melihat kondisi beliau yang semakin kritis, Pak Mastur dengan perintah Ibu Nyai, pulang ke Krapyak untuk memberitahukan kepada para kerabat, khususnya KH. Mufid Mas’ud dan KH. R. Abdullah Afandi, perihal kondisi beliau tersebut. Setelah selesai mengabarkan hal tersebut, belum sampai kembali di rumah sakit, Pak Mastur sudah mendengar kabar bahwa Romo Kyai Qodir telah wafat. Suasana haru dan pilu sontak terasa melingkupi Krapyak waktu itu. Semua merasa kehilangan dan merasa ditinggalkan oleh beliau.

Setelah selama kurang lebih 20 tahun beliau mengemban amanah dan perjuangan ayahandanya, khususnya dalam mengajar Al-Qur’an dan mencetak kader-kader huffadz yang handal, akhirnya beliau berpulang ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala pada malam Jum’at Kliwon, pukul 18.30, 17 Sya’ban 1381 H / 2 Februari 1961 M., di RS Panti Rapih, dalam usia relatif muda (42 tahun), di sisi istri beliau.

Pemakaman dilaksanakan pada siang harinya ba’da Shalat Jum’at, di dekat pusara ayahanda tercinta, KH. Muhammad Munawwir. Beliau meninggalkan seorang istri Ny. Hj. R. A. Salimah binti KH. Nawawi dan lima putra-putri; Ny. Hj. Ummi Salamah (Krapyak – Yogyakarta), waktu itu masih berusia 9 tahun; KH. R. Muhammad Najib (pengasuh Madrasah Huffadz I Al-Munawwir Krapyak), waktu itu masih berusia 6 tahun; Ny. Hj. Munawwaroh (Glagahombo – Muntilan – Magelang), waktu itu masih berusia 4 tahun; KH. R. Abdul Hamid (pengasuh PP Ma’unah Sari Bandar Kidul – Kediri), waktu itu masih berusia 2 tahun; dan KH. R. Abdul Hafidz (pengasuh Madrasah Huffadz II Al-Munawwir Krapyak), waktu itu masih berusia 6 bulan di dalam kandungan.

Meskipun beliau telah tiada di tengah-tengah atmosfer kehidupan Krapyak, namun semangat dan keteladanan beliau senantiasa menginspirasi para santri, terutama bagi mereka yang sedang berupaya tahaffudz Al-Qur’an. Dan estafet amanah terus bergulir ke generasi selanjutnya.

~

Krapyak, 12 Rabi’ul Awwal 1434

Dinukil sekelumit dari buku Romo Kyai Qodir; Pendiri Madrosatul Huffadh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta susunan M. Mas’udi Fathurrohman, S.Th.I., Tiara Wacana: 2011.

Kunjungi Al-Munawwir Pos di

www.munamagz.com

Pengantar Sejarah Alquran (8): Kodifikasi Alquran di Masa Khalifah Usman bin Affan

Sumber Foto: Kaheel7

#Pengantar_Sejarah_Alquran (8)
Oleh: Ust. H. Abdul Jalil Muhammad, M.A

Jika banyaknya sahabat penghafal Alquran yang gugur (syahid) dalam perang Yamamah menjadi latar belakang kodifikasi Alquran di masa Abu Bakar, maka perbedaan bacaan antar tabi’in adalah faktor di balik pengumpulan Alquran di masa Usman. Yang menjadi pertanyaan adalah perbedaan bacaan yang seperti apa? Bukankah perbedaan bacaan sudah ada sejak masa Nabi? Dalam kesempatan ini, penulis akan memaparkan pembahasan yang berangkat dari dua pertanyaan tersebut.

Wilayah negara Islam yang kian meluas, membuat banyak orang-orang non Arab masuk agama Islam dan berniat untuk mendalami ajaran Islam, termasuk Alquran, dari sahabat-sahabat yang berada di wilayah tersebut. Orang Kufah membaca qira’at Ibnu Mas’ud (w. 652 M), orang Bashrah membaca qira’at Abu Musa al-Asy’ari (w. 52 H) dan seterusnya. Akhirnya, muncul perbedaan bacaan di kalangan murid-murid sahabat, diperparah dengan egoisme membanggakan masing-masing bacaannya, bahkan ada yang saling meng-kafirkan hanya karena beda qira’at.

Ada riwayat yang menjelaskan bahwa perbedaan qira’at antar para qurra’ yang terjadi pada era sahabat Usman di Madinah menjadi faktor di balik kodifikasi Alquran. Riwayat lain menyebutkan bahwa perbedaan yang terjadi di beberapa wilayah yang jauh dari ibu kota di mana Hudzaifah bin al-Yaman datang ke Madinah melapor ke khalifah Usman perihal tersebut. Kejadian ini terjadi sekitar tahun 25 H.

Baca Juga : Pengantar Sejarah Alquran (7): Mushaf-Mushaf Sahabat Sebelum Kodifikasi Usman bin Affan 

Pada akhirnya, sahabat Usman membentuk tim kodifikasi Alquran yang beranggotakan sekitar 10 sahabat, antara lain: Zaid bin Tsabit (w. 637), ‘Abdullah bin al-Zubair (w. 692), Sa’id bin al-‘Ash (w. 679) dan yang lain. Mushaf yang masih tersimpan di rumah Hafsah binti Umar (w. 45 H) dijadikan sebagai acuan utama.

Hasil kerja dari tim ini adalah beberapa buah mushaf yang dikirim ke kota-kota besar, seperti: Kufah, Bashrah, Syam, dan Madinah. Meskipun kodifikasi mushaf telah usai, akan tetapi belum menyelesaikan pertikaian yang terjadi, beberapa ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang ditulis, yakni antara empat sampai tujuh mushaf. Perlu diingat, antara rasam dari mushaf-mushaf ini masih ditemukan perbedaan, perbedaan ini dimaksudkan agar mencakup perbedaan qira’at yang tidak bisa ditulis dengan satu rasam. Dari sini muncul ilmu rasam mushaf, dan kitab al-Muqni’ karya Abu ‘Amr al-Dani (981-1053 M) menjadi salah satu rujukan primer ilmu ini.

Baca Juga: “Pengantar Sejarah Alquran (6): Kodifikasi Alquran di Masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq

Mushaf-mushaf lain selain mushaf usmany kemudian dibakar, termasuk mushaf yang dihimpun di masa Abu Bakar dibakar sesudah wafatnya Hafsah binti Umar. Disebutkan dalam riwayat bahwa sahabat-sahabat lain sepakat dengan apa yang dilakukan oleh sahabat Usman, hanya Abdullah bin Mas’ud yang dikabarkan enggan menyerahkan mushafnya.

Mushaf-mushaf Usmany dikirim ke kota-kota besar bersama dengan guru yang mengajar bacaan mushaf tersebut. Ada pertanyaan mengenai pembatasan bacaan, jika perbedaan qira’at di masa Nabi dikaitkan dengan al-ahruf al-sab’ah yang disebutkan dalam hadis-hadis Nabi, lalu apakah mushaf Usmany masih mencakup al-ahruf al-sab’ah? Mengenai hal itu, terdapat tiga pendapat: pertama, masih mencakup seluruh al-ahruf al-sab’ah. Kedua, hanya mencakup satu huruf. Ketiga, mencakup huruf yang memungkinkan untuk dibacakan melalui rasam mushaf tersebut. Mushaf-mushaf ini ditulis tanpa titik atau tanda baca (harakat/syakal).

Pertemuan selanjutnya akan dijelaskan perkembangan dan penambahan titik dan tanda baca. Wallahu A’lam