Pengantar Sejarah Alquran (7): Mushaf-Mushaf Sahabat Sebelum Kodifikasi Usman bin Affan

Oleh:Ust. H. Abdul Jalil Muhammmad, M.A

Pada pertemuan sebelumnya, sudah disampaikan bahwa belum pernah ada pengumpulan Alquran dalam bentuk, dan sempurna di sebuah mushaf. Ini adalah riwayat yang mashur, karena di riwayat lain ada yang menyebutkan sahabat Ali bin Abi Thalib yang pertama melakukan pengumpulan Alquran pasca wafatnya kanjeng Nabi.

Pada masa Khalifah Umar dan Utsman, para sahabat mulai menetap di beberapa wilayah di luar Madinah. Terdapat beberapa riwayat bahwa ada sahabat-sahabat yang memiliki mushaf pribadi, bahkan istri Nabi seperti Hafsah dan Aisyah juga memiliki mushaf. Dalam literatur-literatur klasik kita sering menjumpai ungkapan: (wa fi mushaf … / dan di dalam mushaf …). Yang menarik adalah mushaf-mushaf ini mempunyai beberapa perbedaan dengan mushaf utsmany yang kita kenal sekarang, perbedaan ini bisa dalam aspek: bacaan, tulisan, jumlah, dan urutan surah.

Informasi tentang jumlah dan urutan surah dalam mushaf-mushaf sahabat dapat dijumpai di kitab al-Fihrist karya Ibnu al-Nadim (laporan pertama), al-Itqan karya al-Suyuthi (sebagai laporan kedua) atau karya lain. Sedang mengenai bacaan yang berbeda bisa didapati dari kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Daud al-Sajistani dan kitab-kitab Tafsir. Untuk membaca lebih lanjut tentang topik bisa dijumpai dalam kitab antara lain: Tarikh al-Qur’an karya Theodore Noldeke, Tarikh al-Qur’an karya ‘Abdussabur Syahin (1966), Arthur Jeffery (1937), Materials For The History of The Text of The Qur’an, Taufik Adnan Amal (2011), Rekonstruksi Sejarah al-Quran.

Baca juga : Pengantar Sejarah Alquran (5): Alquran Pada Masa Nabi (Periode Madinah)”

Dari sekian mushaf sahabat, ada empat mushaf yang terkenal, yaitu: Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Ibnu Mas’ud, Mushaf Ubay bin Ka’b, dan Mushaf Ibnu ‘Abbas. Di bawah ini sekilas kita akan membahas beberapa isu seputar Mushaf Ibnu Mas’ud.

Dari beberapa riwayat tentang Mushaf Ibnu Mas’ud disebutkan bawah jumlah dan urutan surah di mushaf tersebut berbeda dengan mushaf yang kita baca sekarang, ditambah bahwa di mushaf tersebut tidak ada surah al-Fatihah dan al-mu’awwizatain (surah al-Falaq dan al-Nas), bahkan ada sarjana Barat yang mengatakan jika Ibnu Mas’ud tidak memasukkan tiga surah tersebut karena dia meragukannya sebagai bagian dari Alquran. Apakah ini benar?

Jumlah surah Alquran ada 114, Ibnu al-Nadim dalam al-Fihrist mengatakan jumlah surah dalam mushaf Ibnu Mas’ud ada 110 surah, tapi setelah dihitung daftar surah yang ditulis ditemukan hanya 105. Sedangkan jumlah surah pada riwayat kitab al-Itqan ada 108 surat. Menurut Taufik Adnan Amal (2011) hal ini bisa saja karena kesalahan dari perawi atau penulis daftar surah.

Sebagian ulama yang cenderung meyakini jika urutan surah dalam mushaf adalah ijtihadi bukan tauqifi. Berdalil pada urutan surah di dalam mushaf-mushaf sabahat tidak sama, seandainya urutan surah itu tauqifi maka tidak akan ditemukan perbedaan dalam urutan surah.

Baca juga : Pengantar Sejarah Alquran (6): Kodifikasi Alquran Pada Masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq”

Ulama berbeda pendapat soal isu Mushaf Ibnu Mas’ud (menyoal urutan dan jumlah surah, tidak mencantumkan al-Fatihah dan Mu’awwidzatain), Pertama, ulama yang saya sebut “al-mutsbitun”, membenarkan riwayat-riwayat itu karena kesahihan sanadnya. Mereka mengatakan itu ijtihad dari Ibnu Mas’ud, meskipun tidak ada sahabat yang mengikuti pendapatnya. Kedua, “al-Naafun”, ulama yang tidak membenarkan riwayat-riwayat itu, mereka berdalil bahwa riwayat yang shahih tentang qira’ah Ibnu Mas’ud telah sampai ke kita melalui qori-qori yang terkenal dan semua membaca al-Fatihah dan Mu’awwidzatain. Imam Ashim, Imam Hamzah, dan Imam Ali al-Kisa’I mempunyai sanad yang tersambung kepada Ibnu Mas’ud. Ketiga, ulama yang mencoba melakukan penafsiran/interpretasi atas riwayat-riwayat tersebut.

Beberapa argumentasi al-Baqillani dalam kitab al-Intishar juga penting untuk dibaca. Dalam tesisku,saya berpendapat bahwa Ibnu Mas’ud meyakini bahwa al-Fatihah dan al-Mu’awwidzatain itu bagian dari Alquran, itu berdasarkan beberapa qiraah syadzah, riwayat tafsir, dan sejarah.

Wallahu A’lam

Pengantar Sejarah Alquran (6) : Kodifikasi Alquran di Masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq

Sumber Foto: cavilita.com
Oleh:Ust. H. Abdul Jalil Muhammmad, M.A

Kanjeng Nabi Muhammad wafat pada bulan Rabi’ al-Awwal tahun ke-11 H. Ketika Abu Bakar al-Shiddiq dipilih sebagai Khalifah Rasulillah seketika itu beliau langsung diuji dengan berbagai problem negara seperti penolakan beberapa kabilah untuk membayar zakat dan perang melawan kaum murtad (hurub al-riddah).

Banyaknya Sahabat yang gugur syahid dalam perang, khususnya pada perang Yamamah (mulai pada akhir tahun 11.H dan selesai pada 12.H) di mana dalam perang tersebut sekitar 600 Sahabat mati syahid. Peristiwa ini lantas mengkhawatirkan sahabat Umar, disebabkan surat-surat Alquran pada waktu itu masih belum terkumpul dalam satu jilid/buku. Padahal di dalam salah satu riwayat disebutkan Zaid bin Tsabit menyatakan bahwa saat Nabi Muhammad wafat, Alquran masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku. Sedangkan sebagian surat-surat Alquran terhimpun atau tersimpan di rumah para Sahabat.

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Umar pernah bertanya tentang suatu ayat dari Alquran kemudian para sahabat menjawab bahwa ayat itu bersama seorang yang telah mati di perang Yamamah, kemudian beliau langsung memerintahkan agar Alquran segera dikumpulkan.

Mengenai kodifikasi Alquran pada masa Abu Bakar terdapat riwayat masyhur yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, di mana sahabat Umar bin Khattab merasa khawatir karena banyak qurra’(penghapal Alquran) yang telah gugur dalam perang Yamamah, beliau langsung melapor kepada Abu Bakar dan mengusulkan agar Alquran dikumpulkan.

Baca juga : Pengantar Sejarah Alquran (4): Sejarah Alquran Pada Masa Nabi (Periode Mekah)”

Pada awalnya, Abu Bakar masih ragu, karena hal tersebut (mengumpulkan Alquran yang tertulis dalam satu jilid atau buku) belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad. Kemudian keraguan itu terjawab sudah. Ketika Allah memberikan ketenangan dan keyakinan dalam hati Abu Bakar untuk memulai jam‘ al-Qur’an(pengumpulan Alquran). Abu Bakar meminta Zaid bin Tsabit untuk melakukan tugas yang berat ini. Dipilihnya Zaid bukan tanpa sebab. Melainkan dia dipilih karena empat sifat yang melekat pada dirinya. Pertama, usia yang masih muda. Kedua, ‘aqil (mungkin yang dimaksud di sini adalah cerdas). Ketiga, jujur dan dapat dipercaya (la yuttaham). Keempat, beliau adalah penulis wahyu yang resmi.

Proses pengkodifikasian Alquran dilakukan di dalam masjid Nabi sebagai pusat berkumpul. Sahabat Bilal mendapat bagian mengumumkan ke seluruh lorong jalan-jalan di Madinah bahwa bagi setiap orang yang memiliki tulisan ayat Alquran yang dibacakan oleh Nabi agar membawanya ke masjid.

Kabar itu tersebar ke telinga para sahabat Nabi. Namun, Tim jam‘ al-Qur’an tidak menerima semua naskah Alquran yang dibawa oleh sahabat ke masjid kecuali dengan beberapa syarat, di antaranya adalah: 1) Naskah ini termasuk naskah-naskah yang pernah ditulis di hadapan Nabi. 2) Harus membawa dua saksi atas syarat pertama. Ibnu Hajr berpendapat bahwa adanya kemungkinan yang dimaksud oleh dua saksi adalah al-hifz wa al-kitabah (penjagaan dalam wujud hapalan dan penulisan). 3) Naskah ini termasuk naskah-naskah yang telah dikoreksi pada tahun wafatnya Nabi.

Baca juga : Pengantar Sejarah Alquran (5): Alquran Pada Masa Nabi (Periode Madinah)”

Setelah naskah yang secara terpisah telah terkumpul, Zaid bin Tsabit lalu menulis ulang. Ia menghabiskan waktu menulis ulang Alquran kurang dari 15 bulan. Sesudah aktivitas penyalinan yang dilakukan Tim jam‘ al-Qur’an ini selesai dan telah berwujud sebuah buku, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat untuk memberi nama buku tersebut. Ada sahabat yang menawarkan nama sifr, ada pula yang mengusulkan nama injil. Setelah melewati musyawarah jejak pendapat, pada akhirnya, sahabat bersepakat untuk memberikan nama mushaf. Hal ini menjadikan Abu Bakar sebagai Sahabat pertama yang mengumpulkan Alquran tertulis dalam sebuah jilid/buku yang bernama mushaf.

Mushaf tersebut disimpan dengan baik oleh Khalifah Abu Bakar sampai beliau wafat, kemudian disimpan oleh Khalifah Umar sampai, lalu disimpan di rumah Siti Hafsah putri Umar dan istri Rasulullah hingga masa kodifikasi Alquran kedua: pada masa Khalifah Usman bin Affan.

Sementara itu, sarjana Barat bernama Richard Bell meragukan riwayat-riwayat kodifikasi Alquran pada masa Abu Bakar. Dia berpendapat bahwa tidak ada kumpulan lengkap dari Alquran yang dibuat secara resmi pada masa Khalifah Abu Bakr, kisah ini mungkin dibuat-buat. Masih menurut Bell, ia berpendapat jika kumpulan pertama dari Alquran dibuat di masa Khalifah Usman bin Affan.

Setelah sahabat Umar bin Khattab diangkat menjadi Khalifah, beliau tidak mendistribusikan salinan dari mushaf tersebut kepada masyarakat Muslim, akan tetapi, masih dalam upaya penjagaan Alquran beliau mengirim qari’-qari’ ke beberapa wilayah di luar kota Madinah dan memberi hadiah atau menggaji guru-guru untuk mengajar Alquran. Seperti Ibnu Mas‘ud yang dikirim ke Kufah, Abu Musa al-Asy‘ari yang mengajar di Basrah dan Abu al-Darda’ yang telah menjadi guru Alquran di Damaskus.

Pertemuan berikut ini akan membicarakan sekilas tentang mushaf-mushaf sahabat yang memiliki beberapa perbedaan dengan mushaf utsmany.

Wallahu A’lam

Pengantar Sejarah Alquran (5): Alquran Pada Masa Nabi (Periode Madinah)


Oleh:Ust. H. Abdul Jalil Muhammmad, M.A

Yatsrib merupakan sebuah oasis berjarak 440 km dari utara kota Mekah. Ia mayoritas dihuni oleh orang Arab dan Yahudi. Setelah peristiwa hijrah Nabi yang membuat Nabi menetap di sana, Yatsrib disebut dengan julukan kota Nabi (madinah al-Nabi) atau al-Madinah al-Munawwarah (kota yang bercahaya).

Ketika Kanjeng Nabi sampai di Madinah (12 Rabi’ul Awwal 622 M), aktivitas pertama kali yang beliau lakukan adalah membangun masjid. Tanah yang dipakai Nabi untuk membangun masjid, pada mulanya milik dua anak yatim dari Bani Najjar yang bernama Sahl dan Suhail. Kemudian Nabi membelinya untuk membangun masjid dan rumah-rumahnya. Pada masa selanjutnya, masjid ini menjadi pusat pendidikan dan terutama pengajaran Alquran.

PUSAT PENGAJARAN ALQURAN DI MADINAH
Di antara tempat-tempat yang digunakan untuk pengajaran Alquran di Madinah adalah: 1) Shuffah: Shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk melaksanakan aktivitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru (muhajirin) yang tergolong miskin dan tidak punya tempat tinggal. Di sini, para sahabat diajarkan membaca dan menghapal Alquran secara baik dan benar, di samping juga diajarkan materi syariat Islam. Nabi mengangkat Ubadah bin ash-Shamit, Abdullah bin Said bin al-Ash dan Ubay bin Ka’b sebagai guru di shuffah.

2) Dar al-Qurra’: Dar al-Qurra’ secara etimologi berarti rumah para pembaca/penghapal Alquran. Semula ia merupakan rumah milik Makhramah bin Naufal. 3) Kuttab: Kuttab berarti tempat belajar atau tempat di mana dilangsungkan kegiatan tulis menulis. Biasanya Kuttab ini dipakai sebagai tempat pendidikan yang dikhususkan bagi anak-anak. Ahmad Syalabi, Sejarawan asal Mesir, membedakan antara kuttab yang khusus untuk mengajar anak-anak baca tulis dan kuttab yang digunakan untuk mengaji Alquran dan dasar-dasar agama. Kuttab yang digunakan untuk belajar baca tulis sudah ada sebelum Islam, walaupun kuttab semacam ini masih sangat sedikit. Sedangkan kuttab yang digunakan untuk mengaji Alquran muncul kira-kira sesudah masa al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi (Penguasa dan Menteri Pertahanan di masa Dinasti Umayyah. Wafat th.714).

4) Masjid: Semenjak masjid berdiri di zaman Nabi, ia telah dijadikan pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum Muslim, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, ketika turun ayat Alquran, kanjeng Nabi langsung keluar menuju masjid dan membacakan kepada sahabat. Sedangkan aktifitas lain di masjid yang dilakukan oleh para sahabat adalah membentuk halaqat (lingkaran) di masjid untuk melakukan tadarus Alquran.

5) Rumah para sahabat: Rumah para sahabat juga dipakai untuk belajar dan mengajar meskipun tidak secara rutin. Misalnya apabila Nabi kedatangan tamu-tamu dari daerah sekitar Madinah, mereka menginap di rumah para sahabat. Seraya menginap, mereka belajar Alquran dan ajaran Islam dari Nabi atau sahabat pemilik rumah.

baca juga : Pengantar Sejarah Alquran (2): Kondisi Masyarakat Arab Sebelum Turunnya Alquran”

KESERIUSAN BELAJAR ALQURAN
Terdapat sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa di Madinah sudah banyak sahabat yang serius belajar dan menghapal Alquran, yaitu peristiwa yang dikenal dengan bi’r ma‘unah (Sumur ma’unah). Ceritanya demikian, dalam perjalanan menuju sekitar daerah Najed, tidak kurang dari tujuh puluh sahabat yang dikenal sebagai al-qurra’ diutus oleh Nabi kepada kabilah Bani Amir dan yang di sekitarnya, di tengah-tengah misi mulia tersebut nasib naas menjemput, para sahabat itu terbunuh di tengah perjalanan. Yang mengakibatkan misi dakwah tersebut gagal. Peristiwa ini telah terjadi pada bulan shafar tahun keempat Hijriyah.

Meskipun bangsa Arab dikenal sebagai bangsa ummi (al-Jumu’ah;2) dan Nabi juga berasal dari bangsa tersebut (al-A’raf:157), tetapi dalam upayanya untuk menjaga Alquran, selain dengan anjuran untuk menghapalkannya beliau juga memberdayakan para juru tulis. Sahabat yang pertama kali menjadi juru tulis (katib) untuk Nabi di Madinah adalah Ubay bin Ka‘b (w.642). Jika Ubay tidak ada atau berhalangan maka Nabi mengundang Zaid bin Tsabit (w.15 H). Tugas para juru tulis yakni menulis setiap wahyu yang diterima oleh Nabi dan mengurutkannya sesuai dengan perintah Nabi saw. berdasarkan petunjuk Tuhan melalui Jibril a.s. (tauqifi). Tentu, medium penulisan yang dipakai masih berupa lempengan batu, tulang, kulit binatang, dan pelepah kurma.

Oleh karena penjagaan Alquran cenderung masih didominasi para penghapal Alquran, di samping proyek penulisan Alquran masih berjalan, dalam pembelajaran Alquran para sahabat mengacu kepada talaqqi dan pendengaran dari Nabi atau dari sahabat yang menerima dari Nabi. Tidak mengacu kepada shahifah-shahifah (Alquran yang tertulis).

Selain para sahabat yang menjaga kemurnian Alquran dengan menghapalkannya, sang perantara wahyu; Malaikat Jibril di setiap tahun pada bulan Ramadan juga ikut menjaga dengan melakukan tadarusan Alquran bersama Nabi Muhammad. Tadarus pada saat Ramadan tidak selalu berakhir baik, beliau mengarungi konflik pertentangan/Mu‘aradhah pada bulan Ramadan terakhir sebelum Nabi wafat dilakukan dua kali (dalam sejarah Alquran dikenal dengan istilah al-‘ardhah al-akhirah). Nabi mengartikannya sebagai tanda dekatnya ajal beliau. Hanya Fatimah, putri Nabi, yang diberitahu rahasia berita ini oleh Nabi.

baca juga : Pengantar Sejarah Alquran (3): Konsep Wahyu”

Pendidikan Nabi kepada para sahabat melahirkan banyak sahabat yang tercatat namanya dalam sejarah sebagai penghapal dan guru Alquran, atau dengan istilah awalnya qurra’. Tugas mereka sebagai para qari’ ini, kelak yang akan meneruskan perjalanan pengajaran Alquran pada generasi selanjutnya.

Dari sekian sahabat penghapal Alquran, Muhammad al-Zahabi dalam buku: Ma’rifah al-Qurra’ mencatat nama tujuh sahabat yang disebut sebagai thabaqah pertama. Mereka adalah ‘Usman bin ‘Affan (w. 656), ‘Ali bin Abi Talib (w. 661), Ubay bin Ka‘b (w. 642), Zaid bin Sabit (w.15 H), ‘Abdullah bin Mas‘ud (w. 645), Abu al-Darda’ (w.652) dan Abu Musa al-Asy‘ari (w. 664). Al-Zahabi, guru besar tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar ini menulis biografi tujuh sahabat tersebut dikarenakan dua hal. Pertama, mereka telah disebut dalam catatan sejarah sebagai orang yang pernah belajar dan menghafal Alquran langsung dari Nabi. Kedua, sanad al-qira’at al-‘asyarah bersambung kepada mereka.

Wallahu A’lam

Pengantar Sejarah Alquran (4): Sejarah Alquran Pada Masa Nabi (Periode Mekah)

Oleh: Ust. H. Abdul Jalil Muhammad, M.A

Mekah adalah salah satu kota termasyhur dalam sejarah Islam. Karena di kota inilah Rasullah yang terakhir diutus kepada umat manusia, yakni Nabi Muhammad saw. Beliau dilahirkan pada tahun 570 M. Berdasarkan nama tempat ini (Mekah), tersebutlah sebuah istilah bagi periodesasi dakwah Nabi yang pertama, yakni periode Mekkah (al-fatrah al-makkiyyah). Periode ini merujuk kepada aktifitas Nabi Muhammad selama masih berada di Mekah (pra-hijrah) hingga beliau hijrah ke Madinah pada tahun 622 M.

Dakwah di periode ini masih menitikberatkan kepada masalah akidah dan keimanan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa ayat-ayat Alquran yang diturunkan pada periode ini umumnya tidak jauh dan atau berkaitan dengan masalah tersebut.

Adapun sahabat-sahabat yang ikut menemani perjuangan Nabi di periode ini disebut sebagai sahabat as-Sabiqun ila al-Islam/orang-orang pertama yang mendengar dan mempelajari Alquran dari Nabi. Para sahabat itu adalah istrinya Khadijah bint Khuailid, ‘Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah dan Abu Bakr al-Shiddiq ra.

Pada mulanya dakwah Islam disampaikan secara sembunyi-sembunyi, hanya melalui dialog dan pembicaraan dari hati ke hati. Melihat kondisi yang sangat belum memungkinkan untuk Nabi berdakwah secara terang-terangan di Mekah.

Lambat laun, tatkala jumlah orang-orang yang memeluk Islam sudah mencapai sekitar dua lima orang, Nabi menambah metode dakwah penyebaran Islam baru dengan menyelenggarakan pengajaran klasik secara tetap di kediaman sahabat Al-Arqam bin Abi Al-Arqam. Di rumah ini para sahabat belajar dan menghafalkan ayat-ayat Alquran yang telah diwahyukan kepada Nabi. Letak rumah itu tak jauh dari Ka‘bah, persis terletak di selatan bukit Shafa.

Kaum Quraisy pun tidak curiga terhadap adanya kegiatan pengajaran yang dilakukan Nabi di tempat itu. Hal ini disebabkan, pertama, keislaman Al-Arqam masih dirahasiakan; kedua, pihak kafir Quraisy tidak menyangka bahwa Al-Arqam yang kaya dan berasal dari keturunan Bani Makhzum, salah satu kabilah yang termasuk kelompok kaum elit, juga telah menjadi pengikut Nabi Muhammad.

Baca juga : Pengantar Sejarah Alquran (2): Kondisi Masyarakat Arab Sebelum Turunnya Alquran”

Di antara sahabat yang mengajarkan Alquran di Mekkah adalah sahabat Khabbab bin al-Artt yang mendatangi muridnya dari rumah ke rumah, sehingga dapat juga dikatakan dia salah satu guru privat Alquran di periode Mekkah. Dia memeluk Islam sebelum adanya pengajian di rumah Al-Arqam.

Dalam salah satu riwayat mengenai Qishah Islam Umar diceritakan bahwa ketika sebelum Umar bin al-Khattab masuk rumah adiknya Fatimah, beliau dengar suara Khabbab bin al-Artt sedang membaca Alquran dari sebuah shahîfah (lembaran) bersama Fathimah dan suaminya. Khabbab bersembunyi di salah satu ruangan rumah tersebut ketika merasa bahwa Umar akan masuk rumah. Umar masuk dan bertengkar dengan Sa‘id dan Fathimah hingga melukai kepala adiknya, kemudian Umar meminta untuk melihat shahîfah yang tadi dia baca, akhirnya Umar masuk Islam karena tersentuh hatinya terhadap keindahan ayat-ayat Alquran.

Dari riwayat tadi dapat diketahui bahwa beberapa sahabat memiliki catatan Alquran sejak di periode Mekah. Meskipun fungsinya sekedar hanya sebagai koleksi pribadi atau untuk digunakan sebagai sarana belajar Alquran saja. Kendati demikian, riwayat-riwayat mengenai penulisan Alquran di Mekah relatif masih sangat sedikit.

Sahabat Nabi yang lain yang termasuk orang-orang pertama yang mempelajari atau membacakan Alquran dari Rasulullah saw adalah sahabat Abdullah bin Mas’ud. Beliau merupakan sahabat pertama yang membacakan Alquran dengan terang-terang di hadapan orang kafir Mekah. Dari usaha tersebut banyak sahabat yang masuk Islam karena mendengar bacaan Alquran. Bahkan kaum Quraisy yang tidak masuk Islam, dalam beberapa kesempatan, mereka mencoba mendengarkan Alquran dari Nabi, meskipun secara bersembunyi.

Di sisi lain, pemuka-pemuka Quraisy terus berusaha menghalangi kaumnya untuk mendengarkan Alquran, dikarenakan pengaruh kuat yang dipancarkan dari Alquran terhadap orang yang mendengarkannya. Hal ini bisa dilihat dalam riwayat Utbah bin Rabi’ah ketika mendatangi kanjeng Nabi dan menawarkan beberapa hal, seperti harta dan jabatan. Akan tetapi, pada akhirnya usaha itu gagal karena seketika itu ia mendengar lantunan ayat-ayat Alquran dari Nabi.

Tidak hanya orang-orang di Mekah yang terpengaruhi bacaan Alquran, di luar Mekah pun demikian. Sebut saja al-Thufail bin ‘Amr al-Dausi, seorang penyair yang mempunyai kedudukan tinggi di kaumnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, para pemuka kafir Qurasiy mencoba menghalangi dia untuk bertemu dan mendengar Alquran dari Nabi, tetapi tatkala dia mendengar bacaan Alquran, ia langsung berkomentar: “saya belum pernah mendengar ungkapan yang lebih indah dari ini”. Di waktu itu juga al-Thufail masuk Islam.

Baca juga : Pengantar Sejarah Alquran (3): Konsep Wahyu”

Kegiatan pendidikan dan dakwah Nabi dan sahabat sebelum Nabi hijrah ke Madinah pun membuahkan hasil. Yakni Alquran telah tersebar dan dihafal oleh beberapa kabilah yang berasal dari dalam maupun luar kota Mekah. Fakta bahwa jumlah surat-surat makkiyyah lebih banyak dari surat-surat madaniyyah memberi isyarat atau menunjukan bahwa sejak periode Mekah sudah banyak sahabat yang memfokuskan kegiatan belajarnya atau aktifitas sehari-harinya untuk mempelajari dan menghafalkan ayat-ayat Alquran.

Keberhasilan itu bukan berarti bebas halangan. Nabi dan para sahabatnya sempat merasa kesulitan tatkala menghadapi tekanan dan dari kaum Quraisy Mekah. Dan pada akhirnya Allah swt. mengizinkan Rasul-Nya untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah), Nabi berhijrah bersama sahabat Abu Bakr dan tiba di Madinah pada tanggal dua belas Rabi‘ al-Awwal 622 M.

Wallahu A’lam

Tata Cara Bersuci dalam Kitab Safinatun Najah (2)

Oleh: Khoniq Nur Arifah

Tayamum
Tayamum suatu tindakan inti bersuci tidak menggunakan air melainkan menggunakan debu sehingga tayamum bisa disebut sebagai pengganti wudu, apabila sesorang tidak bisa melakukan wudu ataupun mandi wajib.

Adapun tayamum dapat dilakukan karena beberapa sebab. Sebab-sebab tayamum itu ada 3. Pertama, tidak air (فقد الماء). artinya seseorang bisa melakukan tayamum jika sudah tidak ada air untuk bersuci.

Kedua, sakit(مرض) . artinya boleh melakukan tayamum jika dalam keadaan sakit. Maksudnya apabila seseorang yang sakit tersebut menyentuh air atau terkena air justru semakin memperparah pernyakitnya. Maka dalam keadaan tersebut seseorang diperbolehkan untuk bertayamum.

Dan yang ketiga adalah ada air tetapi air tersebut digunakan untuk memberi minum binatang yang kehausan dan muhtaram (dimuliakan oleh syara’)(أحتياج اليه لعطش حيوان محترم), sehingga air tersebut terbatas dan dibutuhkan untuk hal yang lebih primer yaitu demi kelangsungan hidup makhluk yang dimuliakan oleh syara’.

Dalam kitab Safinatu an-Najah ini mushonif menjelaskan lebih lanjut yang dimaksud dengan makhluk yang dimuliakan oleh syara’, dengan sebuah pengecualian tentang enam mahkluk yang tidak dimuliakan ;
1) Orang yang enggan mengerjakan salat (تارك الصلات),
2) Pezina mukhson (yang sudah menikah) (زّاني المحصن)
3) Orang yang keluar dari Islam (murtad) (مرتد)
4) Orang kafir yang boleh diperangi (كافر الحربيّ)
5) Anjing gila yang galak dan (كلب العقور)
6) Babi.(خنزير)

Dari enam pengecualian tersebut bisa ditengarai siapa makhluk yang dimuliakan oleh syara’, dan jelas bahwa makhluk mana saja yang perlu ditolong saat kita sedang kekurangan air dan diperbolehkan untuk bertayamum.

Setelah membahas apa saja sebab-sebab tayamum, selanjutnya perlu diketahui apa saja syarat-syarat sehingga diperbolehkan untuk bertayamum.

Syarat tayamum ada sepuluh;
1) Menggunakan debu, (أن يكون بتراب) sehingga bedanya tayamum dengan wudu adalah sesuatu yang digunakan untuk mensucikannya yakni debu, sedangkan wudu menggunakan air.
2) Debu yang suci (أن يكون التراب طاهرا)
3) Debu suci yang belum musta’mal, (ألاّ يكون مستعملا)artinya debu yang sudah digunakan untuk bersuci maka tidak bisa digunakan untuk bersuci kembali.
4) Debu yang tidak tercampur dengan gandum dan semacamnya. (ألاّيخالطه دقيق ونحوه)
5) Niat bertayamum. (أن يقصده)
6) Membasuh wajah dan kedua tangan dengan dua kali tepukan. (أن يمسح وجهه ويديه بضربتين)
7) Membersihkan najis yang ada di badan sebelum melakukan tayamum,(أن يزيل النجاسة أولا) ,memastikan jika terdapat najis-najis yang ada di badan sudah suci sebelum melakukan tayamum. Terutama pada selain anggota-anggota tayamum (dubur, qubul, kaki, badan).
8) Ijtihad menentukan kiblat, sehingga telah di posisi yang sudah mengetahui dan menghadap kiblat sebelum bertayamum.
9) Bertayamum setelah masuk waktu, sebab tayamum hanya bisa digunakan untuk sekali salat fardu.
10) Dilakukan setiap kali akan melakukan sholat fardu. Tidak seperti wudu yang semisal saat masuk waktu magrib kita salat magrib dan dilanjut dengan solat isya’ hanya menggunakan satu wudu. Tetapi jika tayamum harus melakukan dua kali tayamum untuk dua kali salat, dan seterusnya.

Adapun rukun-rukun tayamum dalam kitab Safinatu an-Najah dijelaskan ada lima;
1) Menggunakan debu, ini yang selanjutnya membedakan apa itu wudhu dan apa itu tayamum.
2) Niat, tentu ini juga yang akan membedakan mana yang beribadah dan mana yang bukan ibadah, semisal hanya bermain debu dengan gaya seperti tayamum maka tidak bisa dikatakan tayamum jika tidak berniat untu tayamum atau bersuci.
3) Mengusap wajah.
4) Mengusap kedua tangan hingga siku-siku.
5) Tertib dalam mengusap.

Baca juga : Membincang Keluarga Maslahah, dari Positive Parenting Hingga Kiat Memilih Pasangan”

Dalam pengamalannya, tayamum sebenarnya mirip-mirip dengan wudu hanya saja yang digunakan untuk bersuci adalah debu bukan air. Sehingga jika ada rukun yang berupa mengusap tentu tata caranya mirip dengan saat mengusap dalam wudu.
Adapun hal-hal yang membatalkan tayamum ada tiga;
1. Semua yang membatalkan wudu, artinya semua hal yang membatalkan wudu juga pasti membatalkan tayamum. Adapun yang membatalakn wudu dalam kitab Safinatu an-Najah ada empat;

1) sesuatu yang keluar dari salah satu dari jalan keluar, yaitu baik qubul (jalan depan) ataupun dzubur( jalan belakang), baik kentut ataupun yang lainnya, kecuali mani.

2) Hilangnya akal sebab tidur ataupun yang lainnya, semisal karena bius atau obat-obatan yang dapat memberikan efek hilangnya ingatan. Mengenai tidur yang tidak membatalkan puasa ialah orang yang duduk sambil mengokohkan duduknya di atas tanah.

3) Persentuhan antara dua kulit laki-laki dan perempuan dewasa tanpa adanya pembatas, artinya bersentuhan yang bukan mahromnya dan tanpa ada batasan atau aling-aling. Adapun jika yang bersentuhan itu kuku dan rambut maka tidak membatalkan wudu.

4) Menyentuh qubul manusia atau lingkaran dzuburnya dengan telapak tangan atau jari-jari tangannya baik milik sendiri ataupun orang lain.
2. Murtad.
3. Ragu adanya air. Sebab diperbolehkannya bertayamumn adalah karena tidak adanya air.

Wallahu a’lam

Tata Cara Bersuci dalam Kitab Safinatun Najah (1)

Oleh: Khoniq Nur Arifah

Perkara yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari salah satunya adalah bersuci. Tindakan bersuci akan menentukan ibadah yang akan dilakukan selanjutnya seperti halnya salat. Jika dalam bersuci saja sudah rusak, maka salatnya pun akan rusak.

Sehubungan dengan pentingnya memahami bersuci, di sini penulis akan mencoba menjelaskan hal-ihwal bersuci.
Besuci tentu banyak macamnya, seperti mandi, wudu, dan juga tayamum. Tetapi dalam tulisan ini, penulis membahas bersuci yang diperlukan untuk menghilangkan hadas (kotoran yang menyebabkan kita untuk segera bersuci) kecil saja, yaitu wudu dan tayamum.

Wudu adalah salah satu cara menyucikan sebagian anggota tubuh dengan menggunakan air. Baiknya sebelum membahas wudu terlalu jauh, perlu kita ketahui air seperti apa yang bisa kita gunakan dalam bersuci?

Dalam kitab Safitu an-Najah disebutkan apabila terdapat dua macam air. yaitu air banyak dan sedikit ; disebut air sedikit jika air tersebut jumlahnya kurang dari dua kulah (kira-kira 1 meter persegi) dan disebut air banyak jika lebih dari dua kulah.

Air sedikit menjadi najis sebab kemasukan benda najis di dalamnya meskipun tidak merubah wujud air. Sementara air banyak tidak najis meskipun kejatuhan benda najis ke dalamnya, kecuali jika berubah rasanya, warnanya, atau aromanya.

Setelah mengetahui macam air yang dapat digunakan untuk bersuci, selanjutnya dalam kitab Safinatu an-Najah juga membahas mengenai syarat-syarat berwudu yang berjumlah 10;
1) Islam
2) Tamyiz, artinya dapat membedakan mana yang benar dan salah
3) Bersih dari haidl dan nifas
4) Bersih dari sesuatu yang menghalangi air yang meresap ke kulit seperti tato, atau terkena cat dan lain sebagainya
5) Tidak ada sesuatu pada anggota wudu yang dapat mengubah kesucian air
6) Mengetahui fardu-fardu wudu, artinya hal-hal yang harus dilakukan dalam pelaksanaan wudu
7) Tidak meyakini yang fardu sebagai sunah
8) Menggunakan air yang suci
9) Sudah masuk waktu salat, dan
10) Muwalah (berkelanjutan) bagi yang sering berhadas.

Baca juga : Perintah Hidup Berhias Akhlaqul Karimah”

Masih merujuk pada kitab Safinatu an-Najah tersebut empat hal yang membatalakan wudu;
1) Sesuatu yang keluar dari salah satu dari jalan keluar, yaitu baik qubul (jalan depan) ataupun dzubur (jalan belakang), baik kentut ataupun yang lainnya, kecuali mani.
2) Hilangnya akal sebab tidur ataupun yang lainnya, semisal karena bius atau obat-obatan yang dapat memberikan efek hilangnya ingatan. Mengenai tidur yang tidak membatalkan puasa ialah orang yang duduk sambil mengokohkan duduknya di atas tanah.
3) Persentuhan antara dua kulit laki-laki dan perempuan dewasa tanpa adanya pembatas, artinya bersentuhan yang bukan mahromnya dan tanpa ada batasan atau aling-aling. Untuk kuku dan rambut yang bersentuhan tidak membatalkan wudhu.
4) Menyentuh qubul manusia atau lingkaran dzuburnya dengan telapak tangan atau jari-jari tangannya baik miliki sendiri ataupun orang lain.

Wallahu A’lam

Pengantar Sejarah Alquran (3): Konsep Wahyu

Oleh:Ust. H. Abdul Jalil Muhammad, M.A

Bagaimana bisa seorang yang ingin mengkaji Alquran tetapi tidak mengenal konsep wahyu, padahal Alquran itu wahyu Allah? Lalu apa itu wahyu? Apakah hanya Nabi yang menerima wahyu?

Dalam kesempatan ini, penulis akan menjabarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di bawah ini.

Secara bahasa, wahyu berarti pemberitahuan atau pemberi informasi secara rahasia (I’laam fi khafa’). Di dalam Alquran disebutkan bahwa terdapat beberapa makhluk Allah yang telah menerima wahyu, walaupun para mufasir mencoba mengartikannya secara berbeda-beda.

Mengenai siapa saja yang menerima wahyu, ayat-ayat berikut telah mewakili jawaban atas pertanyaan ketiga di atas. “Wa-auha Rabbuka ila al-nahl” (dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah) (Qs. al-Nahl: 68), “wa-auhaina ila ummi Musa” (dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa) (Qs. al-Qashash: 7), “fa-kharaja ‘ala qaumihi minal mihrab fa-auha ilaihim” (maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya lalu ia memberi isyarat kepada mereka) (Qs. Maryam: 11).

Sangat jelas dari ayat-ayat ini dapat dilihat bahwa penerima “wahyu” tidak hanya Nabi, tapi bisa manusia selain Nabi seperti ibu Nabi Musa, makhluk seperti lebah, gunung dan lainnya. Ini berbeda dengan wahyu sebagai istilah dalam syariat yang berarti Kalam Allah yang diturunkan kepada salah satu Nabi-Nya.

baca juga : Pengantar Sejarah Alquran (1): Kajian Historis Teks Alquran dari Berbagai Aspek”

Apakah orang Arab sudah mengenal pemahaman atau kepercayaan adanya hubungan yang terjadi antara dua dunia yang beda dimensi—dunia lain selain dunia nyata. Seperti fenomena penyair atau dukun yang bisa melakukan kontak atau berkomunikasi dengan sosok jin sudah dikenal luas. Faktor mitologis itu akan terlihat jelas dalam beberapa tuduhan orang Quraisy terhadap Alquran dan juga kepada Nabi Muhammad Saw.

Alquran adalah kalam ilahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad selama sekitar 23 tahun. Masyarakat Arab, terutama yang bertempat di wilayah Hijaz, adalah masyarakat yang pertama kali mendengar dan berinteraksi dengan Alquran. Semua wahyu Alquran diturunkan melalui Malaikat Jibril dan ini yang disebut dengan al-wahy al-jaly, lihat Qs. al-Syu’ara’: 192-195. Dengan kata lain, Alquran tidak diturunkan kepada Nabi melalui ilham, ketika Nabi tidur (dalam mimpi) atau berbicara secara langsung dengan Allah tanpa perantara.

Sebelum menerima wahyu pertama, dengan rahmat dan Allah, Nabi Muhammad sudah melakukan semacam pemanasan atau persiapan. Hal tersebut dapat dilihat dalam (tahannuts) yang beliau lakukan di gua Hira’ yang berlangsung selama beberapa hari bahkan berapa minggu. Ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Nabi melakukan (tahannuts) di gua Hira’ tersebut setiap satu bulan sekali dalam setahun ketika beliau mendekati usia empat puluh tahun.

baca juga : Pengantar Sejarah Alquran (2): Kondisi Masyarakat Arab Sebelum Turunnya Alquran”

Meskipun wahyu telah turun, ulama secara otoritatif berbeda pendapat mengenai tanggal penurunan wahyu, ada dua perselisihan pendapat: Pertama, Alquran diturunkan pada tanggal 17 Ramadan ketika Nabi berusia 41 tahun. Kedua, ia diturunkan pada tanggal 24 Ramadan ketika Nabi berumur 40 tahun. Mulai saat ini, tiap kali Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad beliau menerimanya, menghafalnya dan membacakannya kepada sahabat laki-laki dan perempuan.

Mengenai fenomena wahyu Alquran, tidak ada yang tahu dan sanggup menjelaskan tentang hal tersebut kecuali Nabi sendiri. Sahabat hanya bisa menceritakan tentang fenomena atau gejala yang dialami Nabi pada tubuhnya, seperti berkeringat padahal cuaca sedang dingin, atau tubuhnya bertambah berat hingga bisa dirasakan oleh sahabat yang berada di samping Nabi. Lalu, bagaimana respon masyarakat Arab di Mekah ketika mendengar wahyu Alquran.

Kita lanjut di pertemuan berikutnya. Wallahu A’lam

Ngaji Jalalain : Berjalan di Jalan yang Lurus

mengenali dosa dan dampaknya
Oleh : Dr. K.H. Hilmy Muhammad, M.A

#NgajiTafsir: Surat al-An’am (6) Ayat 126-127:
[su_heading size=”20″]وَهَٰذَا صِرَاطُ رَبِّكَ مُسْتَقِيمًا، قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ. لَهُمْ دَارُ السَّلَامِ عِنْدَ رَبِّهِمْ، وَهُوَ وَلِيُّهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ[/su_heading]

(Dan inilah jalan Tuhanmu yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran. [126] Bagi mereka (disediakan) darussalam (surga) pada sisi Tuhannya, dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang selalu mereka kerjakan. [127])

Yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” dalam ayat ini adalah agama Islam, sebagaimana dinyatakan dalam ayat sebelumnya. Islam disebut “jalan”, karena Islam menuntun kepada tujuan yang benar, yaitu tauhid. Yang selain Islam karena itu bukan jalan, atau bukan sarana yang tepat dalam meraih kebahagiaan.

baca juga : Ngaji Kitab Washoya : Menuju Kehidupan Harmonis”

Jalan Islam juga dinyatakan sebagai “lurus” karena ini jalan yang benar, dan yang paling dekat menuju tujuan. Dan disebabkan keadaannya yang lurus dan tidak berkelok-kelok, maka jalan ini mudah ditempuh dan tidak membikin capek penggunanya.

Ayat selanjutnya memberikan janji kepada siapapun yang menempuh jalan ini akan ditempatkan di surga, Darus-salam. Surga disebut sebagai tempat keselamatan karena berbagai jaminan disiapkan bagi siapapun yang menempatinya, baik jaminan kesehatan dan kesejahteraan, serta terhindar dari segala gangguan dan mara bahaya. Dan bagi para penghuninya, Allah menjanjikan dua kado istimewa: pertama, mereka akan selalu berada dekat dengan Allah, dan kedua, selama di sana, Allah akan senantiasa menjadi pelindung mereka.

Antara kesimpulan yang dapat diambil dari dua ayat ini, surga sebagai tempat kenikmatan dan keselamatan dijanjikan bagi mereka yang berada di jalan yang lurus. Dan tentu, agar bisa senantiasa berada di jalan yang lurus.

baca juga : Ngaji Kitab Washoya : Menuju Kehidupan Harmonis”

Setiap orang harus fokus, penuh perhatian dan konsentrasi terus-menerus. Seperti saat menempuh jalan tol bebas hambatan, kelalaian dan kelengahan dapat menyebabkan orang terkeluar dari jalan, dan mengakibatkan kecelakaan, tabrakan atau tercebur jurang.

Inilah yang mengharuskan orang untuk selalu berhati-hati dan waspada, dengan cara senantiasa mawas diri, muhasabah dan introspeksi, melihat dan mencermati: apakah perkataan, perbuatan dan perilakunya sudah sesuai dengan norma agama, ataukah malah sudah menyeleweng dari ajaranNya. Ini penting dilakukan guna memastikan kebaikan dan kebahagiaan senantiasa menyertai kita dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.

Demikian, semoga bermanfaat.

wallahu a’lamu bish-shawab.

Ngaji Jalalain: Bersungguh-Sungguh dalam Berbaik Sangka

Sumber Foto: dw.com

Oleh : Dr. K.H. Hilmy Muhammad, M.A

#NgajiTafsir: Surat al-Ma’idah (5) ayat 2:

[su_heading size=”20″]وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ المسْجِدِ الحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوْا[/su_heading]

“Dan janganlah kebencian(mu) terhadap suatu kaum disebabkan karena mereka menghalangimu dari al-Masjid al-Haram, menjadikanmu berbuat melampaui batas”

Ayat ini menjelaskan bahwa kebencian kita terhadap seseorang yang jelas-jelas telah berbuat salah kepada kita, tidak lantas membolehkan kita berlaku sewenang-wenang dalam membalas perbuatannya. Antara pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat ini adalah:

(1) Islam adalah agama keadilan. Keadilan diberlakukan bukan hanya kepada sesama teman dan saudara seiman, tetapi bahkan kepada musuh. Hal ini antara lain diwujudkan dalam bentuk membalas perbuatan mereka sesuai dengan kadar kejelekannya saja.

(2) Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akal sehat, bukan agama emosional, yang aturan dasarnya adalah “perasaan”. Hal ini berarti, kesenangan atau ketidaksukaan terhadap sesuatu tidak boleh dijadikan alasan untuk menghalalkan yang haram, dan atau mengharamkan yang halal. Anda boleh suka dengan mangga tetangga, tapi Anda tidak boleh seenaknya main petik tanpa izin pemiliknya. Anda boleh cinta dengan gadis tetangga, tapi Anda tidak dibenarkan asal serobot dan berboncengan dengannya, tanpa kebenaran atas nama agama.

Sebaliknya, kebencian Anda terhadap copet atau pencuri tidak lantas membolehkan Anda semaunya menganiaya, atau bahkan membakar dan membunuhnya. Semuanya ada aturan dan tata cara penanganannya.

baca juga : Ngaji Jalalain : Hukuman bagi Begal dan Perampok”

(3) Atas dasar Iman, segala bentuk perasaan manusia mestinya bisa diredam dan ditundukkan saat berhadapan dengan ketentuan Allah. Dan inilah inti dari seseorang disebut sebagai “muslim”, atau orang yang menundukkan diri terhadap apapun yang menjadi ketentuan Allah.

Sama dengan yang terjadi pada para sahabat yang sebenarnya begitu murka dengan kalangan musyrik Mekah yang menghalangi mereka berhaji pada tahun sebelumnya. Mereka sungguh ingin membalas perlakuan itu dengan keras, akan tetapi ketika hal tersebut dilarang oleh Allah, mereka mampu meredam keinginan dan perasaan tersebut, dengan cara mengikuti ketentuan-ketentuan Allah.

Ini sebagaimana juga dinyatakan dalam suatu riwayat, suatu ketika Sahabat Umar bin al-Khaththab sedang berkumpul bersama dengan para sahabatnya. Pada saat seperti itu, lewatlah di samping mereka seorang yang dikenal sebagai pembunuh saudara kandungnya, yaitu: Zayd bin al-Khaththab.

Orang-orang lantas bilang kepada beliau:
“Itu lho orang yg membunuh saudaramu…”
Sahabat Umar dengan enteng menjawab:
“Emang kenapa?! Bukankah dia sudah diberi hidayah oleh Allah untuk menjadi seorang muslim…?”

baca juga : Ngaji Jalalain : Sikap Hati-Hati Mbah Ali”

Hal ini memberi pelajaran bahwa apapun perasaan kita terhadap seseorang atau apa saja yang berbeda dengan ketentuan Allah, maka harus kita tundukkan, dan kemudian melaksanakan apa yang menjadi ketentuan tersebut dengan penuh kerelaan dan kesediaan. Keengganan kita melaksanakannya berarti menunjukkan kadar keimanan kita yang belum utuh atau belum “kaffah”.

Wallahu a’lamu bish-shawab

Ngaji Jalalain : Hukuman bagi Begal dan Perampok

Oleh : Dr. K.H. Hilmy Muhammad

#NgajiTafsir: Surat al-Ma`idah (5): Ayat 33-34

[su_heading size=”20″] إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآنإِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (33) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (34)[/su_heading]

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka peroleh siksaan yang besar (33) Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menguasai mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (34)”

Sebab diturunkannya ayat ini adalah beberapa orang dari Qabilah Uraniyah yang mengaku muslim dan dalam keadaan sakit datang ke kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayh wasallam. Nabi kemudian menyuruh mereka tinggal di pinggiran kota, tempat digembalakannya unta-unta sedakah.

baca juga : Ngaji Jalalain : Meragukan Risalah Kenabian dan Risalah Kenabian yang Tak Perlu Diragukan”

Nabi juga menyuruh mereka meminum susu dan air kencing unta-unta. Namun sesudah sehat, mereka malah membunuh si penjaga dan merampas unta-unta. Nabi kemudian memerintahkan beberapa sahabat untuk menumpas para perampok itu dan merebut kembali unta-untanya.

Ayat ini kemudian diturunkan untuk memberi ketentuan hukum bagi para begal dan perampok. Mereka adalah orang yang berupaya melakukan perampasan harta secara paksa dan terang-terangan disertai dengan ancaman teror dan bahkan pembunuhan. Dalam khazanah Fiqih, pembahasan ini termasuk dalam bab “quththa` at-tariq” atau “al-hirabah”. Ayat ini memberi ketentuan hukum bagi mereka, sebagai berikut:
1) Bagi mereka yang merampok dan merampas harta disertai dengan pembunuhan, maka mereka dibunuh dan disalib.

2) Mereka yang melakukan pembunuhan tanpa perampasan harta, maka mereka dibunuh.

3) Mereka yang merampok dan merampas harta saja, maka dihukum potong tangan kanan dan kaki kiri mereka secara bersilang.

4) Mereka yang melakukan teror saja, maka diusir dari negara tempat tinggal mereka.

Adapun beberapa pelajaran yang dapat diperoleh dari kandungan ayat dan penjelasan di atas, antara lain:

1) Antara resep pengobatan Nabi adalah minum susu unta dicampur dengan air kencingnya. Resep ini tentu merupakan pengecualian terhadap ketentuan larangan berobat dengan menggunakan barang najis, karena keadaan darurat.

Meskipun telah terbukti secara ilmiah dan akademik bahwa susu dan air kencing unta ini dapat mencegah berbagai penyakit seperti : kanker, leukemia, hepatitis, diabetes, penyakit kulit, asma, dan lain sebagainya. Dan tentu, resep ini adalah antara kemukjizatan ilmiah dari hadis Nabi.

2) Ayat ini menjadi dalil bagi bolehnya memberikan hukuman qishash bagi sindikat atau komplotan atau gerombolan pembunuh, meskipun mereka terbukti hanya membunuh satu orang saja (qatl al-jama’ah bil-wahid).

3) Perlunya sikap tegas dalam upaya perlindungan masyarakat dari teror dan hal-hal yang merusak kebaikan dan tatanan masyarakat. Islam memberi perhatian yang besar terhadapnya dengan memberi hukuman-hukuman berat terhadap para pelakunya: bagi pencuri, dipotong tangannya; pezina dihukum rajam; peminum khamr dijilid… Hal ini diberlakukan oleh Islam dalam rangka melindungi jiwa, harta, dan kehormatan masyarakat.

baca juga : Ngaji Jalalain : Upaya Mengenali Dosa beserta Dampak-Dampaknya”

4) Pelaksanaan hukum secara Islami memerlukan pemerintahan yang Islami. Sehebat dan sebaik apapun ketentuan Islam, tidak akan pernah tegak tanpa didukung pemerintahan Islam. Alquran hanya akan menjadi sekedar buku bacaan bila tidak dibunyikan dan diaplikasikan dalam bentuk aturan dan ketentuan hukum formal oleh suatu kekuasaan. Inilah antara yang dimaksud dalam suatu ungkapan:
[su_heading size=”20″] إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن[/su_heading]

“Sesungguhnya Allah melalui kuasa pemerintah mencegah sesuatu yg tidak mampu dicegah oleh al-Qur`an”

5) Taubat sebagaimana disebut dalam ayat 34, senantiasa menjadi alternatif penyelesaian bagi para pendosa guna menghilangkan pengaruh buruk akibat perbuatan jelek yang dilakukan. Hal ini karena yang namanya dosa mesti memberi pengaruh buruk, baik bagi jiwa maupun raga seseorang. Inilah salah satu alasan mengapa seorang muslim tidak pernah boleh putus asa. Sebab apapun kesalahannya, seberapapun besar dosanya, asal ia bertaubat dengan sungguh-sungguh, Allah pasti akan menerima taubatnya.

Wallahu a’lam bish-shawab.